Jumat, 08 Februari 2008

PERJUMPAAN DI SUMUR YAKUB

Hari Minggu Prapaskah III, 24 Februari 2008
Pendalaman Kitab Suci No.1 Januari-Februari 2008



Beberapa tempat menjadi favorit banyak orang untuk dikunjungi. Zaman dulu salah satunya adalah pasar. Orang mau tidak mau mesti pergi ke pasar karena di situlah dapat diperoleh aneka macam kebutuhan hidup, dari alat-alat rumah tangga sampai sayur-sayuran. Sekarang orang (menyebut diri) modern mungkin malas pergi ke pasar, tapi toh mereka berduyun-duyun mendatangi mal dan supermarket, yang hakikatnya adalah pasar juga. Tempat lain yang pada masa lalu masuk daftar ”wajib kunjung” adalah sumur. Air adalah kebutuhan dasar bagi hidup manusia, juga hewan-hewan ternak. Dulu orang dapat memperoleh air secara cuma-cuma dibeberapa lokasi, misalnya di mata air, sungai, dan tentu saja sumur.

Di pasar orang tidak hanya membeli barang, begitu pula di sumur orang tidak hanya mendapat air. Karena terjadi perjumpaan dengan orang lain, mereka juga menyempatkan diri untuk saling bercerita, bertukar pengalaman dan informasi. Perbincangan mereka itu bisa jadi banyak yang tidak penting. Jangan-jangan tempat itu malah menjadi sumber kabar burung atau gosip yang tidak jelas kebenarannya. Tapi, perjumpaan dengan orang lain kadang membawa makna yang sangat besar, bahkan mungkin bisa mengubah hidup kita. Begitulah pengalaman seorang perempuan Samaria yagn bertemu Yesus di sebuah sumur.

Yohanes 4:5-15, 19b-26-39a,40-42

5 Maka sampailah Ia ke sebuah kota di Samaria, yang bernama Sikhar dekat tanah yang diberikan Yakub dahulu kepada anaknya, Yusuf.

6 Di situ terdapat sumur Yakub. Yesus sangat letih oleh perjalanan, karena itu Ia duduk di pinggir sumur itu. Hari kira-kira pukul dua belas.

7 Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadanya: "Berilah Aku minum."

8 Sebab murid-murid-Nya telah pergi ke kota membeli makanan.

9 Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)

10 Jawab Yesus kepadanya: "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup."

11 Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?

12 Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?"

13 Jawab Yesus kepadanya: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi,

14 tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal."

15 Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, berikanlah aku air itu, supaya aku tidak haus dan tidak usah datang lagi ke sini untuk menimba air."

19b "Tuan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi.

20 Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah."

21 Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.

22 Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.

23 Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.

24 Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran."

25 Jawab perempuan itu kepada-Nya: "Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami."

26 Kata Yesus kepadanya: "Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau."

39a Banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu,

40 Ketika orang-orang Samaria itu sampai kepada Yesus, mereka meminta kepada-Nya, supaya Ia tinggal pada mereka; dan Iapun tinggal di situ dua hari lamanya.

41 Dan lebih banyak lagi orang yang menjadi percaya karena perkataan-Nya,

42 dan mereka berkata kepada perempuan itu: "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia."

Struktur Teks

Bacaan kita pada hari Minggu Prapaskah III ini aslinya lebih panjang, yaitu Yoh. 4:5-42. Kali ini yang akan kita dalami adalah versi singkat yang dianjurkan. Versi singkat ini terutama menghilangkan percakapan antara Yesus dan murid-muridNya (ay. 27-38).

Perikop Yoh. 4:5-14, 19b-26,39a,40-42 dapat kita bagi sebagai berikut:

Ay. 5-7a = Dalam perjalanan dari Yerusalem ke Galilea, Yesus dan murid- muridNya melalui Samaria, wilayah kurang bersahabat dengan orang-orang Yahudi.

Ay. 7b-15 = Percakapan dengan perempuan Samaria tentang air hidup.

Ay. 19b-26 = Percakapan dengan perempuan Samaria tentang ibadat yang benar.

Ay. 39a, 40-42 = Percakapan dengan orang-orang Samaria. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat dunia.

Ulasan Teks

Yesus di Samaria

Penginjil Yohanes sangat pintar menyusun kisah-kisah teologis yang maknanya sangat mendalam, seperti kisah perjumpaan di sumur Yakup ini. Harus diakui bahwa kisah ini mengundang banyak tafsiran. Kami disini menyajikan salah satu – bukan satu-satunya – tafsiran itu.

Pertama-tama penulis mempersiapkan panggung bagi kisahnya ini. Yesus suatu ketika berada di daerah Samaria. Padahal sudah sering kita dengar bahwa orang Yahudi dan orang Samaria tidak rukun satu sama lain. Apa boleh buat, perjalanan yang jauh membuat Yesus letih dan harus beristirahat di situ, di dekat sebuah sumur. Waktu itu kira-kira jam dua belas. Lalu datanglah seorang perempuan Samaria untuk menimba air. Agak aneh, sebab orang biasanya tidak menimba air pada jam-jam begini (panas!). Ditafsirkan bahwa perempuan tersebut memang sengaja tidak ingin bertemu orang lain. Itu karena masyarakat tidak terlalu menyukainya, akibat kehidupan pribadinya yang tidak terlalu positif (lih. Ay. 17-18).

Percakapan tentang air hidup

Para murid yang menyertai Yesus waktu itu sedang ”pergi ke kota membeli makanan” (ay. 8). Maka di sumur itu hanya ada Yesus dan perempuan Samaria tersebut. Percakapan dimulai oleh Yesus yang minta minum kepada si perempuan. Permintaan itu dianggap aneh oleh perempuan itu karena orang Yahudi biasanya tidak mau bergaul dengan orang Samaria. Nah, dari situlah percakapan bergulir dengan penuh kesalahpahaman. Yesus berbicara tentang air dalam arti simbolis, sementara pikiran perempuan itu terus saja tertuju pada air minum! Aneh juga bahwa meskipun konsepnya berbeda, mereka terus saja berbicara dan akhirnya dialog itu nyambung dititik yang sama.

Kepada perempuan itu Yesus menawarkan ”air hidup”, yang kalau diminum seseorang akan membuat orang itu tidak haus lagi untuk selama-lamanya. Air ajaibkah yang Yesus maksud? Ternyata bukan. Yang ditawarkan Yesus sebagai ”air hidup” tidak lain adalah roh yang akan diterima oleh orang-orang yang percaya kepadaNya (lih. 7:37-39). ”Air hidup” juga dapat dimengerti sebagai ajaran-ajaran Yesus, atau juga kebenaran firman-firman yang disampaikan oleh Yesus. Demikianlah, roh dan kebenaran akan tinggal dalam hati seorang yang percaya kepada Yesus, seperti ”mata air yang terus-menerus memancar sampai pada hidup yang kekal”. Itulah ”air hidup” yang ditawarkan Yesus pada perempuan Samaria itu.

SUMUR YAKUB

Sumur Yakub terletak di kaki Gunung Gerizim, tidak jauh dari Kota Sikhem. Mulai abad 4 sampai sekarang, sumur ini selalu ramai dikunjungi oleh para peziarah. Kedalamannya sekitar 32 meter dan kabarnya sumur Yakub tidak pernah mengalami kekeringan. Air selalu tersedia di situ secara melimpah.

Kalau dalam teks Injil Yohanes ini muncul ama Sikhar, mungkin itu adalah nama lain kota Sikhem. Bisa jadi juga penulis injil atau para penyalin salah menulis ejaan Sikhem. Yang dimaksud Shikar memang Sikhem, sebab di situlah Yakub membeli tanah dan memberikannya kepada Yusuf, anaknya (lih. Yos, 24:32; Kej. 48:22). Meskipun demikian, Perjanjian Lama tidak pernah menyebut-nyebut keberadaan sebuah sumur yang bernama sumur Yakub, juga tidak pernah mengisahkan bahwa Yakub pernah menggali sebuah sumur.

Harun, Martin, Memberitakan Injil Kerajaan: ulasan Injil Hari Minggu Tahun A Masa Khusus, Yogyakarta; Kanisius, 2001, hlm 82

Ibadat yang benar

Pembicaraan terus berlanjut. Perempuan itu terkejut, Yesus ternyata mengetahui kehidupan pribadinya (bahwa ia sudah punya lima suami, ay. 17-18). Lansung saja ia percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi, sebab hanya nabi yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi. Maka, ia memanfaatkan kesempatan ini untuk menanyakan masalah yang rumit kepada sang nabi. Masalah yang diungkapkannya memang sangat sensitif: Manakah ibadat yang benar, apakah ibadat orang Samaria atau orang Yahudi? Apakah di Bait Allah Samaria atau di Bait Allah Yerusalem? Masing-masing pihak menganggap diri benar, menyebut yang lain sesat, padahal mereka menyembah Allah yang sama!

Yesus pertama-tama meminta perempuan itu untuk percaya kepadaNya. Menjawab pertanyaannya, Yesus tidak membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Bukankah mengherankan bahwa orang (dari dulu sampai sekarang) masih juga ribut soal tempat unutk menyembah Allah? Allah bisa disembah dimana-mana! Bagi Yesus, yang penting adalah manusia menyembah Bapa ”dalam roh dan kebenaran”. Menurut salah satu tafsir, Yesus dengan itu menolak gagasan bahwa keselamatan dapat dimonopoli oleh sekelompok orang. Dia mengharapkan manusia membiarkan diri mereka dituntun oleh ”daya yang datangnya dari Atas. Yang membebaskan, dan mengantar manusia pada hidup abadi”.

Perempuan itu kemudian mengungkapkan imannya akan Mesias. Pengharapan Mesias bagi orang Samaria sebenarnya agak berbeda dengan orang Yahudi. Orang Samaria tentu tidak mengharapkan kedatangan Mesias keturunan Daud. Mesias dalam banyangan mereka adalah nabi baru semacam Musa. Namun, penginjil Yohanes di sini menyamakan pengharapan itu. Tidak heran ia pun menggambarkan perempuan itu percaya ketika Yesus memperkenalkan diriNya sebagai Mesias.

Orang-orang Samaria percaya

Si perempuan lupa bahwa ia datang kesumur itu untuk mengambil air. Sekarang ia sadar mereka tidak sedang berdiskusi soal air minum. Yang ia dapat- ”air hidup” – jelas jauh lebih berharga daripada itu! Perempuan Samaria itu percaya dan mewartakan imannya itu kepada orang lain. Berkat perempuan itu, banyak orang Samaria datang kepada Yesus dan menjadi percaya. Pengakuan mereka menunjukkan iman yang sangat dalam. Mereka percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat dunia. Dengan itu dinyatakan bahwa keselamatan ilahi bukan milik kelompok tertentu saja.

Keselamatan itu milik seluruh dunia.

Amanat

Kebenaran adalah milik agama saya. Keselamatan kekal adalah hak agama saya. Allah yang benar adalah Allah saya. Manusia paling jago membuat klaim-klaim semacam itu. Buntutnya tentu saja adalah anggapan bahwa orang yang beragama lain itu sesat, kafir, dan paling cocok tinggal di neraka.

Ah, sungguh berlebihan kalau kita berani memastikan orang ini masuk neraka dan orang itu akan masuk surga. Memangnya kita ini siapa?

Dengan beragama, seorang manusia diharapkan semakin mengenal Tuhan, memahami kehendakNya, dan melaksanakannya dalam kehidupan nyata. Pendek kata, agama diharapkan menuntun orang untuk hidup dengan baik. Sayang, menurut catatan seorang pengamat, kaum beragama justru memiliki track record yang buruk dalam hal perlakuan kepada orang lain yang berbeda keyakinan. Tuhan adalah kasih. Tapi, manusia malah mengatasnamakan Tuhan untuk mencelakakan orang lain. Ironis, Tuhan di atas sana pasti menangis saking sedihnya!

Hidup beragama kita perlu diperbarui. Itulah kiranya salah satu pesan yang bisa kita petik dari kisah perjumpaan Yesus dan perempuan Samaria di sumur Yakub. Karena sering dijadikan alat ampuh untuk melakukan kekerasan dan ketidakadilan, menjadi jelas bahwa agama-agama harus mendefiniskan ulang dirinya dan melakukan evaluasi-koreksi-intropeksi. Sebab jangan sampai orang beragama bukannya semakin dekat dengan Allah, tapi malah semakin menjauhiNya. Bagaimana evaluasi-koreksi-intropeksi itu dapat terwujud secara konkret, mari kita pikirkan bersama.

PETRUS, DENGARKANLAH YESUS

Hari Minggu Prapaskah II, 17 Februari 2008
Pendalaman Kitab Suci No. 1 Januari-Februari 2008


Petrus baru saja dimarahi Yesus (Mat.16:23). Padahal, Yesus sebelumnya memberinya pujian-pujian karena Petrus mengenali Dia sebagai ”Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat. 16:16-17). Sikap Yesus terhadap muridNya itu bisa berubah seratus delapan puluh derajat karena Petrus menolak perkataan Yesus bahwa Mesias harus menanggung banyak penderitaan dan dibunuh. Bagi Yesus, itulah jalan menuju kemuliaan, yang meskipun berat, toh akhirnya mengantarkanNya pada kebangkitan. Tapi, Petrus tidak setuju. Mesias, tokoh pembebas bangsa Israel yang kehadirannya sangat dinanti-nantikan itu, menurutnya adalah sosok yang penuh kejayaan. Beda pandangan antara guru dan murid ini sungguh tajam. Petrus menegur Yesus dengan keras dan Yesus tidak mau kalah. Ia memarahi Petrus, bahkan ”menggelarinya” sebagai iblis!

Enam hari berlalu, cukuplah waktunya bagi Petrus untuk merenungkan Mesias macam apakah Yesus itu, termasuk syarat-syarat untuk mengikutiNya, yang ternyata sangat berat (Mat. 16:24-26). Bersama dua murid lain, Petrus kemudian diajak Yesus untuk menyaksikan terjadinya sebuah peristiwa besar (transfigurasi). Celaka, gagasan Petrus ternyata belum banyak berubah.

Lagi-lagi ia salah paham.................

Matius 17:1-9

1 Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendiri saja.

2 Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang.

3 Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia.

4 Kata Petrus kepada Yesus: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia."

5 Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia."

6 Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan.

7 Lalu Yesus datang kepada mereka dan menyentuh mereka sambil berkata: "Berdirilah, jangan takut!"

8 Dan ketika mereka mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorangpun kecuali Yesus seorang diri.

9 Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: "Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorangpun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati."

Struktur Teks

Injil-injil sinoptik mengaitkan kisah perubahan rupa Yesus di atas gunung (disebut peristiwa transfigurasi) dengan pengakuan Petrus dan pemberitahuan Yesus bahwa Mesias harus mengalami penderitaan. Matius (Mat. 17:1-11) dan Lukas (Luk. 9:28-36) agaknya bersumber pada Markus (Mrk. 9:2-9). Mereka mengolah bahan dari Markus itu dan masing-masing memberi kekhasan pada kisah ini. Kisah transfigurasi dalam Injil Lukas berfokus pada Yesus yang membicarakan tujuan perjalananNya ke Yerusalem dengan Musa dan Elia. Sementara itu, kisah dalam Injil Matius lebih menyoroti diri murid-murid Yesus, yang diwakili oleh sikap Petrus.

Mat. 17:1-9 dapat kita bagi sebagai berikut :

Ay. 1 = Yesus dan tiga orang muridNya naik ke gunung yang tinggi

Ay, 2-8 = Hal-hal yang luar biasa di alami oleh para murid: Yesus berubah rupa, kehadiran Musa dan Elisa, serta terdengarnya suara Allah Bapa.

Ay. 9 = Yesus dan tiga orang muridNya turun gunung.

Ulasan Teks

Di sebuah gunung yang tinggi

Seperti telah diketahui, Matius sangat menggemari Perjanjian Lama dan melihat Yesus sebagai penggenapan nubuat-nubuat Perjanjian Lama. Maka, Matius yang mengambil kisah transfigurasi dari Injil Markus, kemudian mengolah bahan itu dengan memakai pola kisah-kisah penampakan yang ilahi dalam Perjanjian Lama, dalam hal ini Kel. 24 dan 34. Disini kita dapat menemukan unsur-unsur yang sama, misalnya gunung, enam hari, awan, dan wajah yang bercahaya.

Memulai kisahnya, penginjil memperkenalkan tokoh-tokoh yang tampil dalam perikop ini. Mereka adalah Yesus dan tiga orang muridNya: Petrus, Yohanes, dan Yakobus. Berempat mereka menaiki sebuah gunung yang tinggi ”enam hari kemudian”, yaitu enam hari setelah Petrus mengakui bahwa Yesus adalah ”Mesias, Anak Allah yang hidup” (Mat. 16:16). Matius tidak lupa menyatakan bahwa di puncak gunung yang tinggi itu ”mereka sendirian saja”, tidak ada orang lain lagi. Maksudnya adalah untuk menegaskan bahwa yang dialami para murid itu betul-betul sebuah penampakan yang ajaib.

Para murid menyaksikan peristiwa-peristiwa ajaib

Peristiwa ajaib pun terjadilah, dimulai dengan Yesus yang mengalami perubahan rupa. Tiba-tiba saja wajah dan jubahNya berkilau-kilauan. Matius ketka menyusun kisah ini tampaknya teringat pada suatu pengharapan apokaliptik bahwa pada hari akhir nanti ”orang-orang bijaksana akan bercahaya seperti cahaya cakrawala” (Dan. 12:3). Maka, Yesus pun digambarkannya bercahaya seperti matahari sebagai tanda kemuliaanNya. Keajaiban terus berlanjut dengan kehadiran Musa dan Elia. Mengapa dua orang ini yang hadir menjumpai Yesus? Menurut suatu tafsir, Musa dan elia masing-masing mewakili kesaksian Taurat dan para nabi tentang Yesus. Tafsir lain berpendapat bahwa Musa hadir untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah nabi yang dinubuatkannya sebagai nabi yang ”harus kamu dengarkan” (Ul. 18:15,18). Sementara itu, Elia adalah nabi besar pendahulu Yesus. Diyakini bahwa Elia akan kembali ke dunia menjelang hari Tuhan.

Bagi Matius, yang penting dalam peristiwa ini adalah reaksi para murid, teritama Petrus. Ini karena perikop ini dihubungkan dengan pengakuan Petrus (bahwa Yesus adalah Mesias yang menderita). Melihat penampakan yang luar biasa itu, Petrus merasa sangat berbahagia, Sebagai murid Yesus yang baik, Petrus siap melayani tamu-tamu agung itu dengan mendirikan tiga kemah.

GUNUNG YANG TINGGI

Di gunung manakah tepatnya peristiwa transfigurasi itu berlansung? Sayang sekali Matius dan para penginjil lain tidak menyebutkannya dengan jelas.

Dalam tradisi Yahudi, daerah-daerah yang tinggi-seperti gunung- memang merupakan tempat yang paling tepat untuk perjumpaan antara manusia dan yang ilahi.

Demikianlah pengalaman Musa dan Elia yang sama-sama menerima pewahyuan Tuhan di Gunung Sinai.

Menurut tradisi, perubahan rupa Yesus itu terjadi di Gunung Tabor, yang memiliki ketinggian 588 m, Atau, karena pengakuan Petrus terjadi di daerah Kaisarea Filipi, mungkinkah gunung yang dimaksud adalah Gunung Hermon (ketinggian 2.774m), yang terletak di dekat daerah itu?

Leks, Stefan, Tafsir Injil Matius

Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 376

Bagi petrus, benar-benar inilah momen yang ia idam-idamkan, di mana Yesus sebagai Mesias meraih kemuliaan kekal dan didukung oleh tokoh-tokoh besar Perjanjian Lama. Inilah zaman akhir yang dipenuhi kebahagiaan abadi dan Petrus pun bermaksud terus tinggal dalam situasi yang penuh sukacita itu. Benar bukan harapannya bahwa Mesias pasti jaya? Mana ada Mesias yang menderita, apalagi sampai mati dibunuh!

Tapi, keajaiban belum berakhir. Tiba-tiba saja terdengar suara dari surga yang menyatakan bahwa Yesus adalah AnakNya yang terkasih. Terutama bagi Petrus, masih ada pesan yang penting untuk diperhatikan. Bapa memberi perintah padanya, ”Dengarkanlah Dia.” Jadi rupanya Petrus harus mengubah pandangan manusiawinya. Ia diharapkan lebih mendengarkan kehendak Allah sebagaimana disampaikan oleh Yesus dalam ajaran-ajaranNya.

Turun gunung, kembali ke alam nyata

Peristiwa di gunung itu tentulah sangat mengejutkan hati ketiga murid itu. Ketika mendegar suara Allah, mereka bahkan sampai kalang kabut, jatuh tersungkur karena sangat takut! Namun, ketakutan itu segera berlalu. Peristiwa penampakan telah berakhir dan Yesus menenangkan hati para muridNya.

Membingkai perikop ini, Yesus dan para murid dikisahkan turun gunung (dibagian awal mereka diksisahkan naik gunung). Sebuah pesan penting disampaikan Yesus kepada mereka bertiga. Sebelum Anak Manusia mengalami kebangkitan, Petrus dan dua rekannya itu tidak boleh mengisahkan penglihatan di gunung tersebut. Yesus tidak ingin orang-orang salah paham, mengira bahwa Ia adalah Mesias yang akan mempimpin bangsa Israel maju perang (apalagi jika orang-orang itu tahu bahwa Yesus didukung oleh Musa, Elia, dan Allah sendiri!). Setelah Yesus bangkit, bolehlah hal itu diceritakan sehingga orang-orang sadar bahwa Yesus adalah Mesias, tapi tidak seperti yang mereka bayangkan.

Amanat

Melalui ksiah transfigurasi, penginjil Matius menegaskan kepada kita sekalian bahwa Yesus adalah Mesias yang direncanakan oleh Allah, bukan Mesias seperti yang selam ini dibayangkan oleh manusia. Tradisi Israel, yang diwakili oleh sikap Petrus, mengharapkan datangnya Mesias yang jaya, yang tidak mengenal kata gagal, derita, apalagi kematian (dengan cara dibunh pula!). Petrus ingin agar Yesus menjadi Mesias yang seperti itu. Nah, sudah saatnya Petrus dan murid-murid yang lain mendengarkan kehendak Allah, tidak hanya menuruti gagasan diri mereka sendiri saja.

Jalan yang dipilih Allah bukanlah jalan yang instan. Bukan karena mentang-mentang mahakuasa, Allah datang ke dunia, dan dengan satu kata membereskan semuanya. Seperti sulap saja! Kita sendiri pasti menyadari bahwa hidup di dunia ini bukan hal yang sederhana. Setiap hari dan setiap waktu, hidup kita diwarnai dengan derita, kesulitan, dan tantangan.Allah mengerti itu dan ingin menunjukkan solidaritasNya demi mendukung perjuangan kita. Maka, dipilihNya jalan penderitaan.

Pilihan Allah terkesan Absurd, tapi jika direnungkan dalam-dalam sungguh menguntungkan kita. Dulu penderitaan dianggap sebagai aib, menunjukkan bahwa kita ini orang-orang yang dihukum Allah. Celaka benar orang yang hidupnya susah, padahal dia itu sebenarnya hidupnya benar dan tidak melakukan kejahatan apa pun. Nah, kalau Mesias yang diutus Allah ternyata juga mengalami penderitaan, siapa yang berani mengatakan bahwa penderitaan itu aib yang harus disingkiri? Mulai dari sekarang, penderitaan setidaknya akan dipandang dari sudut lain, yang lebih positif.

Petrus diminta untuk mulai mendengarkan Yesus, demikian pula kita. Dilihat-lihat, bisa jadi kita merasa bahwa banyak kesulitan mendera hidup kita. Siapa tahu kita jadi putus asa, terus berkeluh kesah, menyalahkan Tuhan, dan berdoa, ”Tuhan segera buat keajaiban untuk membebaskan aku!” Bagi kita yang demikian, Tuhan sendiri berkata, ”Dengarkanlah Dia.” Kita diminta mendengarkan Yesus, juga melihat teladanNya ketika menghadapi saat-saat yang berat. Ia tidak menolak penderitaan.
Ia menghadapinya dengan tegar.

PUASA, RASA LAPAR DAN PENCOBAAN

Hari Minggu Prapaskah I, 10 Februari 2008

Pendalaman Kitab Suci No.1 Januari- Februari 2008

Rasa lapar jangan disepelekan. Sebab, di saat perut kita kosong tak berisi, tidak banyak yang bisa kita lakukan, bahkan sekedar untuk berpikir sekalipun. Yang ada dalam pikiran kita waktu itu niscaya hanyalah makan, makan dan makan. Tidak heran, setelah merenungkan fenomena itu dalam-dalam ada seorang filsuf yang sampai pada kesimpulan, ”Orang dapat belajar filsafat setelah dia kenyang.” Siapa mau pusing-pusing belajar filsafat ketika perutnya lapar, untuk bangun dari tempat tidur saja sudah susah!

Banyak juga yang berpendapat bahwa jarak antara rasa lapar dan pencobaan itu sangat dekat. Perut yang kosong memang tidak kenal kompromi. Ia menuntut untuk segera diisi dengan apa saja. Maka dari itu hati-hatilah terhadap orang lapar, da lebih hati-hati jika yang lapar itu adalah diri kita sendiri. Godaan untuk gelap mata dan menghalalkan segala cara sangat dekat mengintai kita, persis seperti yang dialami Yesus ketika diserang rasa lapar di padang gurun. Ia dibujuk unutk mengubah batu-batu yang bertebaran di situ menjadi roti. Saat lapar ditawari roti?? Hmm.. enak sekali, bukan?

Matius 4:1-11

1 Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.

2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus.

3 Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti."

4 Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah."

5 Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah,

6 lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu."

7 Yesus berkata kepadanya: "Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!"

8 Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya,

9 dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku."

10 Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!"

11 Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus.


Struktur Teks

Kisah pencobaan di padang gurun dilaporkan begitu singkat oleh Markus (Mrk. 1:12-13), namun dalam Matius, kisah ini terurai secara panjang lebar (demikian juga dalam Injil Lukas, Luk. 4:1-13). Versi Matius menggemakan tema Yesus sebagai Anak Allah. Status ini dinyatakan pertama kali oleh Allah sendiri dalam kisah pembaptisan (Mat. 3:17), namun di sini coba digoyahkan oleh Iblis. Lawan-lawan Yesus juga melakukan hal yang sama, misalnya ketika Yesus tergantung di kayu salib (Mat. 27:40,43).

Perikop Mat. 4:1-11 dapat dibagi sebagai berikut:

Ay. 1 = Setelah dibaptis Yohanes, Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun. Disitu ia berpuasa dan mendapat pencobaan ketika sudah merasa lapar.

Ay.2-9 = Iblis membujuk Yesus dengan tiga macam godaan. Dengan mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama, Yesus menolak godaan-godaan itu.

Ay. 11 = Para malaikat melayani Yesus yang telah berhasil melampaui pencobaan-pencobaan Iblis.


Ulasan Teks
Dibawa ke padang gurun

Kisah pencobaan di padang gurun melanjutkan kisah pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis di Sungai Yordan (Mat. 3:13-17). Menurut kesaksian Matius, sesudah Yesus dibaptis tiba-tiba saja terdengar suara dari surga, ”Inilah Anak-Ku yang terkasih kepadaNyalah Aku berkenan.” Suara itu tentu adalah suara Allah. Dengan tegas Ia menyatakan bahwa Yesus adalah AnakNya. Tapi, sepanjang Injil Matius, itu tidak mencegah para lawan untuk terus meragu-ragukan dan mencoba merongrong status Yesus sebagai Anak Allah, seperti yang dilakukan Iblis kali ini.

Setelah dibaptis, ”lalu Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun.” Tidak perlu aneh-aneh membayangkan Yesus terbang ke situ. Yang dimaksud Matius, dibawah pimpinan Roh Allah, Yesus pun lalu pergi ke padang gurun. Tujuan jelas: Yesus ke padang gurun ”untuk dicobai Iblis”. Pada masa lalu, Israel dipilih Allah untuk hidup dalam perjanjian denganNya. Mereka pun disebut sebagai anak-anak Allah. Namun, apa yang terjadi ketika mereka berkelana di padang gurun empat puluh tahun lamanya? Mereka gagal bersikap setia kepada Allah, Bapa mereka. Nah, bagaimana halnya Yesus, Israel yang baru? Mampukah Ia bersikap setia? Benarkah Ia adalah Anak Allah yang sejati?

Tiga godaan Iblis
Dipadang gurun Yesus berpuasa empat puluh hari empat puluh malam, sama benar dengan yang dahulu dilakukan oleh Musa (Kel. 34:28). Setelah berpuasa sekian lama, Yesus pun diserang rasa lapar dan pada saat itulah Iblis datang untuk melanjutkan godaan-godaan mautnya. Hal ini agak berbeda dengan versi Markus (1:13, diikuti Luk. 4:2), yang mengatakan bahwa pencobaan itu berlansung selama empat pulih hari empat puluh malam.

DIMANAKAH PUNCAK BAIT ALLAH?

Godaan kedua berlansung di Yerusalem. Karena kisah ini adalah kisah teologis, tidak tepat jika kita membayangkan bahwa Iblis membawa Yesus ”terbang” ke kota itu. Namun, setidaknya menurut penggambaran penginjil Matius, di Yerusalem, Iblis menempatkan Yesus ”di puncak Bait Allah” atau versi TB ”di bumbungan Bait Allah”. Manakah yang dimaksud dengan puncak Bait Allah itu? Apakah Yesus ditempatkan di atap Bait Allah?

Sebetulnya maksud puncak Bait Allah juga tidak terlalu jelas. Dalam bahasa Yunani, istilah yang dipakai dalah pterugion, secara harfiah artinya ”sayap kecil’. Mungkin Matius bermaksud mengatakan bahwa di Bait Allah, Yesus dibawa ke semacam balkon yang terletak di tempat yang sangat tinggi. Tidak jelas apakah balkon yang dimaksud ada di gedung utama Bait Allah, salah satu tembok Bait Allah, pintu gerbang, ataukah di serambi yang mengelilingi Bait Allah. Yang dipentingkan di sini rupanya bukan tempat itu sendiri, melainkan ketinggiannya.

Harun, Martin, Memberitakan Injil Kerajaan: Ulasan Injil Hari Minggu Tahun A Masa Khusus, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm.66

Godaan pertama terkenal sekali dan sangat tepat sasaran. Yesus sedang lapar, bujukan paling jitu bagiNya tentu saja adalah makanan. Maka, si penggoda pun datang membujuk Yesus agar memerintahkan batu-batu yang ada di situ menjadi roti. Yesus pasti bisa melakukan itu, ”Karena Engkau Anak Allah.” demikian kata Iblis. Di sini Iblis mengenal dan mengakui status Yesus sebagai Anak Allah. Yang sedang dilakukannya adalah mencoba menggoyahkan kedudukan itu dengan membujuk Yesus untuk memenuhi keinginan dariNya sendiri secara ajaib. Lupakanlah Allah, Yesus punya kuasa dan tidak butuh Allah! Tapi, Yesus mendasarkan hidupNya pada firman dan kehendak Allah. Allahlah sumber hidup manusia, bukan roti. Dengan mengutip Ul. 8:3, ia menolak bujukan yang menawarkan kepuasan sesaat itu.

Godaan kedua digambarkan berpindah lokasi di Yerusalem. Iblis membawa Yesus ke situ dan menempatkanNya dipuncak Bait Allah. Melihat bahwa godaan pertama ditangkal oleh yesus dengan kutipan Kitab Suci, Iblis tidak mau kalah. Dalam rangka menggoda Yesus, dipamerkanya pula keahliannya dalam soal kutip mengutip Kitab Suci. Ia membujuk Yesus untuk terjun kebawah. Tidak usah khawatir cedera. Menurut Iblis, Yesus pasti tidak akan sampai jatuh ke tanah karena Allah pasti akan mengirim para malaikat untuk menangkap Yesus, sesuai dengan isi Mzm. 91:11. Yesus meolak godaan ini karena sebagai Anak, Dia sungguh percaya kepada Allah sebagai Bapa dan penyelenggaraanNya yang sungguh amat baik. Mengutip Ul. 6:16, Ia tidak mau mencobai Allah dengan menuntut suatu perlindungan istimewa. Lagi pula, terjun dari ketinggaian tanpa alasan, hanya agar ditangkap para malaikat, sungguh sebuah tindakan yang tidak masuk akal!

Lokasi pencobaan berpindah lagi, kali ini di atas gunung yang sangat tinggi. Seluruh kerajaan di dunia tampak dari situ dan Iblis berniat memberikannya semua pada Yesus, ”Jika Engkau sujud menyembah aku” Nah, ini soal serius. Iblis dengan begitu mengklaim dirinya berkuasa atas bangsa-bangsa, padahal Tuhanlah yang empunya alam semesta. Jadi Iblis di sini menganggap dirinya sebagai Tuhan sehingga menuntut disembah oleh Yesus. Jabatan dan kekuasaan memang tawaran yang sangat menggoda. Tapi dalam hal ini pun Yesus tetap teguh dalam pendirianNya. Hanya Allah yang patut disembah, bukan yang lain.

Para malaikat melayani Yesus

Tiga godaan Iblis berhasil dilalui Yesus. Iblis kalah dan sementara waktu mundur meninggalkan Dia. Sang Anak dibujuk untuk tidak setia kepada Bapa, namun tak sedikit pun bujukan itu menggoyahkan kepercayaanNya kepada Bapa. Justru karena percaya dan tidak menuntut apa pun itulah, Yesus digambarkan mendapat pemeliharaan dari Bapa. Mengutip Markus (Mrk. 1:13), Matius mengambarkan kedatangan malaikat-malaikat untuk melayani Yesus, mencukupi segala keperluan Yesus.

Amanat

Empat puluh hari empat puluh malam lamanya Yesus berpuasa di padang gurun. Masa itu sering di sebut-sebut sebagai masa persiapan sebelum Ia mulai berkarya di tengah-tengah masyarakat. Namun, dengan kisah itu Matius lebih-lebih ingin menunjukkan kepada kita Yesus sebagai Anak Allah yang sejati. Godaan untuk tidak mempercayai penyelenggaraan Allah, mencobai Allah, dan menyembah Iblis tidak digubrisNya sama sekali. Dengan ketaatan dan keteguhan hati yang luar biasa seperti itu, siapa berani meragukan Yesus adalah Anak Allah yang sejati??

Sikap Yesus menjadi koreksi bagi sikap Israel di masa lalu sukanya menuntut ini itu terhadap Allah. Kalau kita membaca kisah perjalanan mereka di padang gurun setelah mereka keluar dari Mesir, jarang sekali kita jumpai orang-orang Israel itu bersikap taat dan percaya. Perjalanan di padang gurun dalah perjalanan yang penuh keluh kesah! Bukannya mendengarkan perintah Allah, orang Israel waktu itu cenderung inigin mengatur-atur Allah. Sikap yang terbalik, bukan?

Kita boleh menyalahkan mereka, tapi sebenarnya kita pun memiliki kecenderungan yang sama. Hidup manusia di dunia memang tidak mudah karena penuh dengan masalah, kesulitan, dan tantangan. Karena itu ada yang mengumpamakan bahwa hidup kita di dunia ini bagaikan sebuah perjalanan di padang gurun. Nah, bagaimana kita menjalani perjalanan yang berat ini? Jangan-jangan isinya hanya keluh kesah karena kita tidak puas pada penyelenggaraan Allah. Tapi, semoga tidak demikian. Teladan Yesus kiranya menguatkan kita sekalian ketika Iblis datang menggoda kita untuk melepaskan diri dari Allah. Mari kita merenungkan hal itu dalam masa puasa kali ini.

Jumat, 01 Februari 2008

SABDA BAHAGIA DARI ATAS BUKIT

Hari Minggu Biasa IV, 3 Februari 2008

Pendalaman Kitab Suci Vol. 23, No.1 Januari-Februari 2008


Orang miskin dilarang sakit. Demikian kata sebuah surat kabar dalam beritanya mengenai harga obat-obatan dan biaya perawatan kesehatan yang sekarang ini makin mahal saja. Coba saja Anda menginap barang tiga hari di rumah sakit (kalau Anda sakit tentunya). Syukur kepada Allah jika ongkos yang harus Anda bayar berada di kisaran ”ratusan ribu”, sebab untuk urusan itu sekarang biasanya terucap kata ”juta”. Biaya sebesar itu jelas tak terjangkau oleh orang-orang miskin, yang ironisnya saat ini jumlahya semakin banyak. Akibatnya, dari kalangan ini banyak yang tak bisa berumur panjang. Bagaimana bisa panjang umur, kalau sakit dibiarkan begitu saja karena tak ada uang untuk pergi ke dokter.

Selain masalah kesehatan, orang miskin ternyata masih memiliki aneka macam keterbatasan. Di bidang pendidikan, misalnya. Biaya sekolah ikut-ikutan melambung tinggi sehingga muncul pemeo (sindiran) bahwa orang miskin dilarang sekolah. Terjepit sana – sini, jangan heran jika lama –kelamaan orang berpikir bahwa orang miskin dilarang hidup!

Jadi orang miskin ternyata tidak enak, jauh dari kegembiraan dan kenyamanan hidup. Tapi mengapa dalam khotbah di bukit, Yesus justru menyebut orang miskin sebagai yang berbahagia?

Matius 5:1-12a

1 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.

2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:

3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.

5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.

6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.

7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.

8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.

12a Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga,


Struktur Teks

Khotbah di atas bukit oleh Matius ditempatkan sebagai pengantar, sekaligus dasar bagi tuntutan-tuntutan radikal, yang harus ditepati oleh siapa saja yang mau menjadi pengikut Kristus. Tuntutan-tuntutan itu (menjadi garam dunia, sikap terhadap hukum Taurat, larangan untuk bercerai, hal berpuasa, dan sebagainya) diuraikan dalam 5:13-7:27.


Mat. 5:1-12a dapat kita bagi sebagai berikut:


Ay. 1-2 = Inilah pengantar yang menjelaskan posisi Yesus dan orang banyak/para murid yang mengikuti dan menjelaskan ajaranNya.

Ay. 3-10 = Delapan sabda bahagia yang ditunjukan bagi semua orang.

Ay. 11-12a = Sebuah sabda bahagia khusus bagi para murid Yesus dan ajakan agar mereka senantiasa bersukacita.


Ulasan Teks

Yesus, Musa baru, mengajar diatas bukit

Menurut keyakinan banyak tradisi, yang ilahi bertakhta di tempat-tempat yang tinggi, digunung misalnya. Pewahyuan dan perjumpaan manusia dengan yang ilahi biasanya terjadi di situ, seperti yang dialami oleh Musa (Kel. 19:18-20) dan Elia (1Raj. 19:8). Tidak heran, Matius – yang menulis injilnya bagi kalangan yang akrab dengan Perjanjian Lama- memilih bukit sebagai lokasi penyampaian sabda-sabda bahagia.

Kepada jemaatnya, Matius ingin memperkenalkan Yesus sebagai Musa yang baru. Dahulu Musa di Gunung Sinai menerima sepuluh firman Allah dan meneruskannya kepada umat Israel. Kini, dari sebuah tempat tinggi, Yesus melakukan hal serupa. Ia mengajarkan kaidah-kaidah kehidupan yang perlu ditaati oleh siapa saja yang ingin diterima masuk dalam Kerajaan Allah. Namun, tidak seperti Musa, Yesus tidak sekedar ”meneruskan pesan” dari pihak lain. Sabda-sabda yang disampaikan Yesus berasal dari diriNya sendiri. Pesan Matius kiranya cukup jelas: Yesus lebih unggul dari Musa!

Pendengar Yesus kali ini bukan hanya murid-muridNya, tapi juga orang banyak yang ”berbondong-bondong mengikuti Dia” (4:25). Baru saja memulai karyaNya dengan berkeliling Galilea, Yesus tampaknya telah berhasil menarik perhatian masyarakat luas. Bagi mereka dan juga bagi murid-muridNya inilah Yesus menyampaikan sabda-sabda bahagia. Sabda-sabda ini sungguh menyejukkan hati dan menumbuhkan pengharapan bagi siapa saja yang selama ini hidupnya dalam masyarakat senantiasa dipinggirkan dan disisihkan.

Delapan sabda bahagia

Yang disapa berbahagia untuk pertama kali adalah orang-orang miskin dihadapan Allah. Berbeda dengan Lukas yang menekankan kemiskinan dalam arti harfiah (kemiskinan secara materi, Luk. 6:20), Matius menambahkan dihadapan Allah karena yang ia maksud adalah orang-orang sederhana, mereka lebih rendah hati dan dalam hidupnya menaruh kepercayaan kepada Allah. Selanjutnya, Yesus menyebut berbahagia orang-orang yang berdukacita. Dukacita di sini juga perlu dimengerti dari sudut pandang rohani, yaitu keprihatinan karena kehendak Allah yang diabaikan oleh manusia di dunia ini. Yang juga berbahagia menurut Yesus adalah orang yang lemah lembut, yaitu mereka yang tidak memegahkan diri dan tidak mengandalkan kekuatan diri

DI ATAS BUKIT

ATAU

DI TEMPAT DATAR ?

Menurut Matius, Yesus mengucapkan sabda-sabda bahagia dari atas bukit, namun menurut Lukas, peristiwa itu terjadi pada suatu tempat yang datar (Luk. 6:17). Bagaimana perbedaan ini dapat dijelaskan?

Umum diterima bahwa Matius dan Lukas memakai sumber yang sama dalam menyusun perikop ini, yaitu tentang empat sabda bahagia. Tiga sabda yang pertama tertuju bagi orang-orang miskin, tertindas, dan lapar: sedang sabda bahagia yang keempat menyapa orang yang dianiaya karena Anak Manusia. Dua penginjil itu lalu mengolah bahan ini dan menyusun perikop tentang sabda bahagia sesuai dengan tujuan masing-masing.

Mengenai lokasi penyampaian, Matius memilih lokasi di atas bukit karena ingin menyejajarkan Yesus dengan Musa. Musa dulu menerima Taurat dari Allah di Gunung Sinai. Melebihi Musa, Yesus kini mengajarkan sendiri norma-norma kehidupan kepada Israel, juga dari sebuah tempat yagn tinggi. Sementara itu, Lukas ”menurunkan” Yesus ke tempat yang datar, sesuai dengan gagasannya tentang keselamatan yang sifatnya universal. Dengan berbicara di tanah datar, tidak ada perbedaan tingkat antara Yesus dan para pendengarNya. Yesus dengan itu akan terasa lebih dekat, dan sabda-sabdaNya akan lebih menyapa banyak orang

Leks, Stefan, Tafsir Injil Lukas

Yogyakarta, Kanisius, 2003, hlm. 171-172


sendiri. Tiga pihak yang disebut pertama ini pada dasarnya memiliki kesamaan: hidup mereka sepenuhnya bersanda pada kebaikan hati Allah. Mereka pantas berbahagia karena telah memilih sikap hidup yang tepat. Melalui Yesus, Allah kini menyapa dan menghibur mereka, serta menjanjikan kepenuhan kebahagiaan di masa yang akan datang.

Sabda bahagia keempat dan keenam (ay. 5,7) tertuju kepada orang-orang yang lapar dan haus akan kehendak Allah dan orang yang suci hatinya. Dua pihak ini berpadangan bahwa menjalankan kehendak Tuhan adalah suatu yang membahagiakan, bukan beban. Yesus membenarkan pandangan itu dan menyebut mereka berbahagia karena dengan demikian, keinginan keinginan duniawi yang tak teratur tidak akan mempengaruhi mereka. Hati yang jernih, yang terpusat pada Allah, akan memampukan orang-orang ini memilah-milah mana yang baik, mana yang buruk. Yesus berjanji bahwa mereka ini akan dipuaskan dan akan melihat Allah. Artinya, mereka kelak akan menikmati keselamatan kekal dariNya.

Sabda bahagia kelima dan ketujuh (ay.7,9) menyapa orang yang berbelaskasihan dan orang yang membawa damai. Mereka ini adalah orang-orang yang berupaya menghadirkan kebaikan Tuhan di dunia. Berkat orang-orang yang bersikap demikian, masyarakat akan hidup dalam suasana yang harmonis, saling pengertian, saling mendukung, dan saling mengampuni manakala ada kesalahan. Kebaikan Tuhan dengan begitu akan terwujud secara nyata dalam hidup manusia sehari-hari.

Terakhir, yang disebut berbahagia adalah orang yang dianiaya karena melakukan kehendak Allah. Justru karena melakukan kehendak Allah, kita bisa-bisa dibenci banyak orang dan mengalami penganiayaan. Pasalnya, orang-orang yang ingin hidup sesuka hati menjadi terganggu karenanya. Yesus mendorong kita untuk tidak menyerah dalam memperjuangkan kebenaran. Penganiayaan yang dialami hendaknya ditanggung dengan besar hati.

Sabda bahagia khusus

Khusus bagi para muridNya, Yesus menyampaikan sabda bahagia ”tambahan”, sabda bahagia kesembilan. Murid-murid menghadapi celaan, fitnah, dan penganiayaan karena menjadi pengikutNya. Hal tersebut memang membuat hidup mereka menjadi sulit, tapi itu bukan hal yang memalukan dan mesti disesali. Sebab, Yesus mengajarkan kebenaran dan mewartakan kehendak Allah. Lain halnya kalau Yesus itu penjahat dan mengajarkan hal-hal yang buruk. Oleh karena itu, para murid (dan kita) tak boleh malu mengikuti Dia. Para pengikut Yesus justru harus bangga dan berbahagia karena mereka memperjuangkan jalan hidup yang lurus. Penganiayaan tidak boleh membelokkan prinsip hidup kita!

Amanat

Ada gelas yang setengahnya terisi air. Orang yang pesimis akan mengatakan gelas itu ”setengahnya kosong”, sebaliknya orang yang optimis akan berkata bahwa gelas itu ”setengah terisi”. Mungkin perumpamaan itu tepat untuk menggambarkan fungsi sabda-sabda bahagia yang disampaikan Yesus. Sabda-sabda bahagia tidak boleh disamakan dengan candu, yang menawarkan hiburan-hiburan kosong bagi orang-orang yang hidupnya menderita, agar mereka tetap tenang dan pasrah menerima penderitaan mereka. Seorang ahli kitab berkata bahwa sabda bahagia itu ”melambungkan harapan jauh-jauh kedepan tanpa meninggalkan kehidupan yang dialami sehari-hari”. Maksudnya, justru dengan sabda bahagia, kita didorong untuk melihat kehidupan konkret kita dari sudut pandang yang lain.

Memang sabda bahagia dalam Injil Matius kental sifat rohaninya. Kemiskinan yang ia maksud adalah kemiskinan rohani, sedangkan lapar dan haus yang disinggungnya adalah lapar dan haus akan kehendak Allah, bukan akan nasi dan air minum. Namun, rumus bahwa ”yang rohani harus terwujud secara konkret” berlaku disini. Faktanya, murid-murid dan para pengikut Yesus waktu itu adalah orang-orang kecil, mereka yang oleh banyak orang dianggap ”bukan siapa-siapa”. Perlukah situasi itu disesali? Perlukah ketiadaan materi, pangkat, dan jabatan membuat para murid merasa rendah diri dan hidupnya tidak bahagia??

Tidak. Kebahagiaan dirasakan seseorang bukan karena ia kaya, terpandang, dan berkuasa. Uang dan pujian hanya membuat orang senang sesaat, dan itu bukanlah kebahagian sejati. Para murid Yesus harus mengupayakan kebahagiaan sejati, yang akan diraih juka mereka mempunyai sikap hati yang tepat, yaitu rendah hati dan percaya akan penyelenggaraan Allah yang Mahabaik. Teladan untuk itu tidak lain adalah Yesus sendiri, yang hidup dalam kesederhanaan dan taat sepenuhnya pada kehendak Bapa.

Anda mungkin juga ”bukan siapa-siapa” di mata orang banyak. Tak adanya pengakuan dari orang lain membuat hidup Anda jauh dari kemudahan. Dengan semangat sabda-sabda bahagia, kiranya itu bukan halangan bagi Anda untuk menikmati kasih Allah yang melimpah dan disebut berbahagia. Ingat saja baik-baik bahwa dalam situasi apa pun kita harus rendah hati dan percaya. Dua sikap itu ternyata adalah kunci yang memecahkan banyak masalah yang kita alami dalam hidup ini.

Mengenal Isi dan Struktur Alkitab Ibrani dan Yunani

Alkitab Ibrani

Daftar Kitab-kitab suci seperti terdapat dalam Alkitab Ibrani ditetapkan demikian oleh ahli-ahli Kitab Yahudi di Palestina menjelang tarikh Masehi.Sampai sekarang daftar ini dituruti oleh orang-orang Yahudi dan (dalam Perjanjian Lama) oleh gereja-gereja Reformasi, walaupun dengan perbedaan sedikit dalam tempat urutan masing-masing kitab. Daftar itu hanya memuat kitab-kitab yang memakai bahasa Ibrani (beberapa bagian memakai bahasa Aram), sehingga tidak terdapat yang dikarang dalam bahasa Yunani (atau hanya sampai kepada kita dalam terjemahan Yunaninya) dan tambahan-tambahan dalam bahasa Yunani pada kitab Ester dan Daniel.

Kitab-kitab dalam Alkitab Ibrani terbagi menjadi tiga kelompok dengan urutan sebagai berikut:

I. TORAH (Hukum Taurat, Pentateukh) :

1. Kejadian (yang juga disebut “Pada mulanya”, menurut kata-kata pertama kitab itu),

2. Keluaran (atau: Inilah nama),

3. Imamat (atau: Dan Ia (Tuhan) memanggil),

4. Bilangan (atau: Di padang gurun),

5. Ulangan (atau: Inilah perkataan).

II. NABI-NABI

A. ”Nabi-nabi terdahulu”

6. Yosua,

7. Hakim-hakim,

8. Samuel (kitab 1 dan 2 bersama),

9. Raja-raja (kitab 1 dan 2 bersama).

B. ”Nabi-nabi kemudian”

10. Yesaya,

11. Yeremia,

12. Yehezkiel,

13. Kedua belas nabi, yang urutannya sbb: Hosea, Yoel, Amos, Obaja. Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk. Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi.

III. KETUBIM (atau hagiographa, tulisan-tulisan)

14. Mazmur,

15. Ayub,

16. Amsal,

Megillot (lima, gulungan);

17. Rut,

18. Kidung (Syir hasy-syirim),

19. Pengkotbah (Qohelet),

20. Ratapan,

21. Ester,

22. Daniel,

23. Ezra-Nehemia,

24. Tawarikh


Jadi Alkitab Ibrani berisikan 24 kitab.


Alkitab Yunani

Alkitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani ialah Kitab Suci orang-orang Yahudi
di perantauan atau di diaspora, diluar Tanah Suci. Jumlah kitab, urutan dan isinya berbeda dengan Alkitab Ibrani. Perbedaan ini antara kitab-kitab Ibrani dan terjemahannya ke dalam bahasa Yunani disebabkan perbedaan antara naskah asli seperti ditulis penulis pertama dan terbitan-terbitan berikut. Adapun isi Alkitab Yunani, sbb:

1. Kitab-kitab dari Alkitab Ibrani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, Hanya teksnya di sana sini berbeda dan ada bagian-bagian yang dihilangkan atau (terutama dalam kitab Ester dan Daniel) ditambah

2. Kitab-kitab yang tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani (meskipun kebanyakan aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram), tetapi masuk ke dalam daftar kitab-kitab suci yang diterima oleh Gereja Katolik (disebut “Deuterokanonika), atau oleh gereja-gereja Reformasi, “Apokrip”). Dalam terbitan LAI kitab-kitab itu ditempatkan sebagai suatu kelompok tersendiri sesudah kitab-kitab Ibrani.

3. Kitab-kitab yang kadang-kadang dipakai oleh bapa-bapa Gereja serta pujangga-pujangga dahulu, tetapi tidak diterima oleh Gereja Katolik sebagai kitab-kitab suci. Kitab-kitab ini disebut “Apokrip” (istilah Katolik) atau “Pseudepigrapha” (istilah gereja-gereja Reformasi). Dalam daftar yang berikut kitab-kitab itu diberi kurung.

Dengan dikecualikan kitab-kitab Apokrip (pseudepigrapha) Gereja Katolik menerima kitab-kitab dari Alkitab Yunani itu sebagai kitab-kitab suci. Dalam daftar kitab-kitab suci yang tersmi kitab-kitab itu diurutkan dengan urutan yang beberda dengan urutannya dalam Alkitab Yunani.

Daftar kitab-kitab Yunani, Septuaginta; disini disajikan menurut terbitan Rahlfs.

I. HUKUM DAN SEJARAH

1. Kejadian,

2. Keluaran,

3. Imamat,

4. Bilangan,

5. Ulangan,

6. Yosua,

7. Hakim-hakim,

8. Rut,

9. Keempat kitab Kerajaan: 1 dan 2 Kerajaan = 1 dan 2 Samuel

3 dan 4 Kerajaan = 1 dan 2 Raja-raja,

10. Paralipomena = 1 dan 2 Tawarikh,

(11. Ezra 1, apokrip),

12. Ezra 2 = Ezra-Nehemia,

13. Ester dengan bagian-bagian tambahan dalam bahasa Yunani

14. Yudit,

15. Tobit,

16. Makabe 1,

17. Makabe 2,

(18. Makabe 3),

(19. Makabe 4).

II. PENYAIR-PENYAIR DAN NABI-NABI

20. Mazmur (Psalmoi),

21. Amsal Salomo,

22. Pengkotbah,

23. Kidung Agung,

24. Ayub,

25. Kitab kebijaksanaan (Salomo),

26. Bin Sirakh (Kebijaksanaan Putera Sirakh),

27. (Mazmur-mazmur Salomo),

28. Kedua belas nabi kecil (Dodeka-propheton) dalam urutan sbb : Hosea, Amos, Mikha, Yoel, Obaja, Yunus, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, Maleakhi,

29. Yesaya,

30. Yeremia,

31. Barukh (= Barukh bab 1-5),

32. Ratapan,

33. Surat Yeremia (= Barukh bab 6),

34. Yehezkiel.

35. Kisah Susana (= Daniel bab 13),

Daniel 1-12 (3:24-90 tambahan dalam bahasa Yunani),

Kisah Bel dan Naga (= Daniel 14).

Dari ke-35 kitab ini 31 diterima oleh Gereja Katolik sebagai Kitab Suci dan 4 dianggap apokrip; tujuh disebut Deuterokanonik dan dalam kitab Ester dan Daniel ada beberapa bagian Deuterokanonik.

Dalam Septuaginta terdapat pula sekumpulan lagu, yang disisipkan antara Kitab Mazmur dan Kitab Amsal, Lagu-lagu itu ialah Mazmur-mazmur yang berserakan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, suatu doa raja Manasje (Apokrip) dan lagu ,, Kemulian kepada Allah”.

-------------------------------------------------------

PENGANTAR PENTATEUKH

I. JUDUL-JUDUL, PEMBAGIAN DAN ISI

Kelima buku pertama Kitab Suci merupakan suatu kesatuan yang oleh orang-orang Yahudi diberi nama ”Hukum”, Torah, yang dalam bahasa Arab menjadi Taurat. Bukti yang pasti dan pertama tentang nama ini dapat kita jumpai dalam kata pembukaan kitab Bin Sirakh. Istilah Taurat lazim dipakai pada permulaan tarikh Masehi dan juga dalam Perjanjian Baru, Mat 5:17, Luk 10:26; bdk Luk 24:44.

Karena ingin mempunyai naskah-naskah yang dapat ditangani, maka orang-orang Yahudi membagi-bagikan Kitab yang terlalu tebal ini menjadi lima gulungan yang hampir sama besarnya. Pembagian ini menyebabkan bahwa kitab Taurat, dikalangan orang yang berbahasa Yunani, diberi judul : he pentateuchos (biblos), artinya : ”Kitab berjilid lima”, yang dalam bahasa Latin disalin dengan judul Pentateuchus (liber). Sedangkan orang-orang Yahudi yang berbahasa Ibrani meyebutnya juga ”Seperlima kitab Taurat”.

Adanya pembagian atas kelima kitab ini sebelum tarikh Masehi terbukti oleh terjemahan Yunani Septuaginta. Septuaginta menyebut jilid-jilid itu menurut isinya; Kejadian (yang dimulai dari asal mula dunia), Keluaran (yang dimulai dari pengungsian orang-orang Yahudi dari Mesir), Imamat (yang memuat peraturan-peraturan pada imam dari suku Lewi), Bilangan (judul ini dikarenakan bilangan-bilangan dalam bab 1-4), Ulangan (”Hukum yang kedua”, menurut salah satu tafsiran Yunani atas UL 17:17). Nama-nama dari terjemahan Yunani menjadi lazim dalam Gereja. Namun dalam bahasa Ibrani, orang-orang Yahudi dulu dan sampai sekarang menyebut masing-masing kitab itu menurut kata pertamanya atau dengan kata penting pertama yang terdapat dalam teksnya.

Kitab Kejadian

Kitab Kejadian dapat dibagi atas dua bagian yang tidak sama panjangnya. Sejarah permulaan, 1-11, merupakan semacam serambi terbuka menuju sejarah penyelamatan yang akan diceritakan dalam seluruh Kitab Suci. Sejarah itu dimulai dengan cerita tentang awal jadinya dunia dan menyangkut seluruh umat manusia. Dikisahkan didalamnya penciptaaan alam semesta dan manusia, dosa pertama dan akibat-akibatnya, lalu kemerosotan moril yang makin hari makin bertambah besar dan akhirnya diberi hukuman melalui air bah. Mulai dari Nuh, bumi mulai dihuni kembali oleh bangsa manusia, namun daftar-daftar silsilah semakin dipersempit dan akhirnya terpusat perhatiannya pada Abraham, bapa bangsa terpilih. Sejarah para bapa bangsa, 12-50, menampilkan tokoh-tokoh leluhur bangsa Israel. Abraham ialah seorang beriman; ketaatannya diganjar Allah dengan janji, bahwa dia sendiri akan memperoleh keturunan dan keturunannya akan mendapat Tanah Suci, 12:1-25:18. Yakub berwatak penipu; ia berhasil menyingkirkan Esau, kakaknya, dengan licik memperoleh berkat bapanya Ishak dan dalam hal menipu melebihi pamanya, Laban. Namun segala kepandaiannya ia tidak akan berguna, seandainya Allah sendiri tidak mengutamakan Yakub sejak kelahirannya dari Esau dan tidak mengulangi janji perjanjian yang dahulu diberikan-Nya kepada Abraham, 25:19-36:43. Dibandingkan dengan Abraham dan Yakub, maka Ishak seorang tokoh yang kurang menonjol. Riwayat hidupnya hanya diceritakan demi kehidupan ayahnya, Abraham, dan anaknya yaitu Yakub. Kedua belas anak Yakub adalah leluhur kedua belas suku Israel. Riwayat salah seorang di antaranya dikisahkan pada seluruh bagian terakhir kitab Kejadian; bab 37-50 (kecuali 38 dan 49) adalah kisah Yusuf, orang berhikmat. Kisah tersebut berbeda sifatnya dengan kisah-kisah yang mendahuluinya. Tidak ada campur tangan lansung dari Allah atau pewahyuan baru. Seluruh kisah itu berupa suatu pengajaran; kebaikan orang berhikmat dapat ganjarannya dan Penyelenggaraan Ilahi memanfaatkan kedosaan manusia untuk tujuan yang baik.

Kitab Kejadian merupakan suatu kisah yang utuh dan lengkap, yaitu riwayat para leluhur. Ketiga kitab yang berikut merupakan kesatuan tersendiri. Dalam rangka kehidupan Musa, diceritakan di dalamnya pembentukan umat terpilih serta diberinya hukum sosial dan agama umat itu.

Kitab Keluaran

Kisah Keluaran berkisar pada dua tema pokok: pembebasan dari Mesir, 1:1-15:21 dan Perjanjian di gunung Sinai, 19:1-40:38. Kedua tema itu dihubungkan satu sama lain oleh suatu tema tambahan yaitu perjalanan di padang gurun, 15:22-18:27. Dalam bagian ini, Musa, yang di gunung Allah telah menerima wahyu nama Yahwe (adonay), mengantar orang-orang Israel dari perbudakan di negeri Mesir sampai ke gunung yang sama. Disana dalam penampakan yang mendahsyatkan Allah mengikat perjanjian dengan umatNya serta memaklumkan hukum-hukumNya kepadanya. Perjanjian yang baru saja diadakan itu, dibatalkan oleh bangsa Israel dengan menyembah lembu emas. Akan tetapi Allah mengampuni umatNya, lalu membaharui perjanjian itu. Suatu rangkaian peraturan mengatur ibadat bangsa Israel di padang gurun.

Kitab Imamat

Kitab Imamat yang hampir berisikan peraturan melulu, menghentikan unutk sementara kisah-kisah peristiwa. Kitab ini berisikan ; peraturan untuk upacara korban, 1-7; upacara pentahbisan para imam yang dijalani Harun serta anak-anaknya, 8:10 ; peraturan tentang tahir dan najis, 11-15, serta upacara ibadat hari raya Perdamaian, 16. Lalu menyusul ”Hukum Kekudusan”,17-26, yang memuat juga suatu penanggalan liturgis, 23, dan berakhir dengan berkat-berkat dan kutukan-kutukan,26. Sebagai tambahan, bab 27 merumuskan syarat-syarat tebusan bagi manusia, hewan dan barang yang dikuduskan bagi Yahwe.

Kitab Bilangan

Kitab Bilangan menyambung kembali tema perjalanan di padang gurun. Keberangkatan dari gunung Sinai didahului oleh cacah jiwa, 1-4, dan persembahan dalam jumlah besar buat pentahbisan Kemah Suci, 7. Sesudah merayakan Paskah untuk kedua kalinya, bangsa Israel meninggalkan gunung Sinai,9-10, dan lambat laun mendekati Kadesy. Dari situ diadakan suatau percobaan memasuki negeri Kanaan bagian Selatan yang akhirnya gagal, 11-14. Sesudah tinggal di Kadesy selama beberapa waktu, bangsa Israel berangkat lagi dan tiba di padang Moab, di seberang kota Yerikho, 20-25. Bangsa Midian dikalahkannya dan suku-suku Gad dan Ruben menetap di seberang Yordan, 31-32. Suatu daftar meringkaskan tahap-tahap perjalanan di gurun, 33. Ditengah ceritera-ceritera yang disebut tadi dapat kita jumpai beberapa kumpulan perundangan yang melengkapi perundangan Sinai atau menyiapkan pendudukan Tanah Kanaan, 5-6:8; 15-19; 26-30; 34-36

Kitab Ulangan

Kitab Ulangan mempunyai susunan khas, sebab merupakan semacam buku undang-undang sipil dan agama, 12:1-26:15, yang disisipkan ke dalam wejangan panjang Musa, 5-11 dan 26:16-28:6. Kumpulan ini sendiri didahului oleh wejangan Musa pertama,1-4, disusul oleh wejangan yang ketiga, 29-30, lalu dilengkapi dengan beberapa berita mengenai akhir kehidupan Musa; pengangkatan Yosua, nyanyian dan berkat Musa serta kematiannya, 31-34. Undang-undang kitab ini mengulangi sebagian undang yang diumumkan dipadang gurun. Wejangan-wejangan yang kita jumpai dalam kitab ini mengingatkan peristiwa-peristiwa besar di saat keluaran, di gunung Sinai dan permulaan, perebutan tanah yang dijanjikan; wejangan-wejangan tersebut mengungkapkan arti religius peristiwa-peristiwa itu, menekankan makna perundangan dan mengajak bangsa Israel supaya tetap setia kepada Allah.

II. KOMPOSISI DAN GAYA SASTRA

Setidak-tidaknya sejak permulaan tarikh Masehi, Musa dianggap sebagai penyusun kumpulan yang besar ini. Kristus dan para rasul menuruti pendapat tersebut, Yoh 1:45; 5:45-47; Rom 10:5. Namun tradisi yang paling tua tidak pernah dengan tegas membenarkan pendapat, bahwa Musa adalah penyusun seluruh Pentateukh. Apabila didalam Pentateukh sendiri terdapat (jarang sekali) kalimat : ”Musa menulis”, maka ungkapan ini menyangkut bagaian-bagian tertentu saja. Sebenarnya penyelidikan ilmiah dan modern terhadap kitab-kitab tersebut, menampilkan perbedaan-perbedaan gaya bahasa, pengulangan dan kekacauan dalam ceritera, yang menjadi penghalang untuk memandang kumpulan ini sebagai sebuah karya yang seluruhnya dikerjakan oleh seorang pengarang saja. Sesusdah banyak penyelidikan yang dilakukan dengan hati-hati, para kritikus yang hidup pada akhir abad ke-19, khususnya di bawah pengaruh karya-karya Graf dan Wellhausen, mencetuskan teori begini; Pentateukh adalah kumpulan yang terdiri dari empat buath dokumen yang berlain-lainan usia dan lingkungan asalnya, namun semuanya berasal dari zaman sesudah Musa. Aslinya ada dua dokumen berisikan ceritera yakni Yahwista (J), yang mulai dari kisah penciptaaan mempergunakan nama Yahwe, yaitu nama Allah yang diwahyukan kepada Musa, dan Elohista (E), yang menyebut nama Allah dengan nama umum yaitu Elohim. Dokumen Yahwista, menurut teori ini, mendapat bentuk tertulis pada abad ke-9 di Yehuda, sedangkan Elohista sedikit kemudian mendapat bentuknya di Israel. Sesudah musnahnya Kerajaan Utara, kedua dokumen itu dilebur menjadi satu (EJ), Sesudah raja Yosia, kitab Ulangan (D) ditambahkan kepada gabungan tadi (JED), Sehabis Pembuangan, Kitab Hukum Para Imam (P), yang terutama berisikan peraturan-peraturan dan beberapa ceritera, disatukan dengan kumpulan tadi dan menjadi rangka bingkainya (JEDP).

Teori dokumen yang klasik ini, yang juga dihubungkan dengan suatu gagasan tentang evolusi paham-paham keagamaan bangsa Israel, kerap kali dipersoalkan . Dewasa inipun seluruh teori tersebut masih ditolak oleh sebagian para ahli. Sejumlah ahli lain menerimanya dengan perubahan-perubahan yang cukup penting. Tidak ada dua orang ahlipun yang seluruhnya sependapat dalam menentukan bagian-bagian Pentateukh manakah yang termasuk ke dalam masing-masing dokumen. Terutama dimasa sekarang ini para ahli sependapat, bahwa penyelidikan dari segi bahasa saja tidak cukup menerangkan cara digubahnya Pentateukh. Penyelidikan bahwa itu masih perlu dilengkapi dengan studi tentang bentuk sastra dan tradisi lisan atau tertulis yang mendahului penggubahan sumber-sumber Pentateukh. Masing-masing dokumen, bahkan yang paling mudapun (P), memuat unsur-unsur yang sangat tua. Kesusastraan kuno di Timur Dekat yang ditemukan kembali serta kemajuan ilmu arkheologi dan sejarah, yang membuka pengetahuan baru tentang kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa yang bertetangga dengan Israel, membuktikan, bahwa sebagian besar undang atau peraturan yang terdapat dalam Pentateukh sangat serupa dengan undang atau peraturan diluar Kitab Suci dan lebih tua usianya dari pada yang ditetapkan buat ”dokumen-dokumen” itu disusun. Macam-macam tradisi dari zaman dahulu, baik hukum maupun ceritera, terpelihara di tempat tempat suci atau turun- temurun diceriterakan oleh ahli-ahli ceritera di kalangan rakyat. Tradisi-tradisi itu dikumpulkan menjadi kumpulan-kumpulan lebih kurang besar, lalu dituliskan atas desakan kalangan-kalangan tertentu atau oleh seorang tokoh yang berperan penting.Hanya penggubahan-penggubahan itu bukanlah tahap terakhir. Sebailiknya kumpulan-kumpulan tradisi itu disadur kembali, ditambah dan akhirnya digabungkan satu sama lain menjadi Pentateukh yang kita miliki. ”Sumber-sumber” tertulis dari Pentateukh merupakan tahap-tahap penting dalam perkembangan yang lama. Aliran-aliran tradisi yang lebih tua seolah-olah tersimpul di dalamnya, lalu mengalir terus dan berkembang.

Banyaknya aliran tradisi tersebut merupakan kenyataan yang menjelaskan adanya ceritera dobel, pengulangan dan pertentangan-pertentangan yang mengherankan pembaca mulai dari halaman-halaman pertama kitab Kejadian: dua kisah mengenai penciptaan, 1:1-2:4a dan 2:4b-3:24; dua silsilah Kain-Keni-Kenan, 4:17 dst dan 5:12-17; gabungan dua kisah tentang air bah, 6-8. Dalam riwayat para bapa bangsa, perjanjian Abraham diceritakan sebanyak dua kali, Kej 15 adan 17; dua kali Hagar diusir, 16 dan 21; ada tiga ceritera tentang nasib malang isteri seorang Bapa Bangsa di negeri asing, 12:10-20; 20; 26:1-11; gabungan dua ceritera tentang Yusuf dan saudara-saudaranya, yang terdapat dalam bab-bab terakhir kitab Kejadian. Terdapat pula dua kisah tentang panggilan Musa, Kel 3:1-4:17 dan 6:2-7:7, dua mukjizat air di Meriba, Kel 17:1-7 dan Bil 20:1-13; dua teks Dekalog, Kel 20:1-17 dan Ul 5:6-21; empat penanggalan liturgis, Kel 23:14-19; 34:18-23. Dapat dikemukakan banyak contoh lain lagi. Berdasarkan kesamaan bahasa, gaya bahasa dan gagasan-gagasan, bagian-bagian tertentu dari Pentateukh dapat dikelompokkan, sehingga tampillah kesatuan-kesatuan (ceritera-ceritera dan hukum-hukum) yang berbeda satu sama lain dan yang 1 kesatuan utuh-lengkap. Dengan demikian ditemukan empat aliran tradisi.

Tradisi ”Yahwista” (disebut demikian karena mulai dengan kisah penciptaan mempergunakan nama Allah yang khusus yaitu Yahwe) mempunyai gaya bahasa yang hidup dan bewarna-warni; melalui bahasa penuh gambar dan berkat bakat berceritera yang mengagumkan, tradisi ini menjawab secara mendalam pertanyaan-pertanyaan serius yang timbul dalam hati setiap manusia; ungkapan-ungkapan manusiawi yang dipakainya dalam berceritera tentang Allah, menyembunyikan suatu rasa keagamaan yang bermutu tinggi. Sebagai pengantar ke dalam sejarah para leluhur Israel, disajikannya sebuah ringkasan sejarah umat manusia sejak penciptaan pasangan manusia pertama. Tradisi ini berasal dari Yehuda dan barangkali bagiannya yang terpenting dicatat dizaman pemerintahan raja Salomo. Dalam kumpulan teks yang dikatakan termasuk tradisi ini, kadang-kadang ditemukan sebuah tradisi sejalan, yang asal-usulnya sama juga, tetapi memantulkan gagasan-gagasan yang kadang-kadang lebih kuno dan kadang-kadang berbeda-beda dengan yang lazim dalam Yahwista; kepada tradisi itu diberi tanda Y 1 (Yahwista yang pertama) atau L (sebab berasal dari kalangan kaum awam) atau N (sebab berasal dari suku-suku Badui). Pembedaan ini tampaknya dapat dibenarkan, namun sukar menentukan, apakah di sini terdapat suatu tradisi yang berdiri sendiri ataukah hanya beberapa unsur saja yang diambil alih oleh tradisi Yahwista dengan mengindahkan coraknya yang asli.

Tradisi ”Elohista” yang ciri khas lahiriahnya ialah penggunaan nama umum bagi Allah (Elohim), berbeda dengan tradisi Yahwista, karena gaya bahasanya lebih sederhana dan juga kurang menarik, lagipula karena dalam hal kesusilaan lebih banyak tuntutannya dan karena usahanya mempertahankan jarak yang memisahkan manusia dengan Allah. Dalam tradisi ini tidak terdapat ceritera-ceritera tentang asal jadinya dunia; ia mulai dari Abraham. Barangkali tradisini ini lebih muda daripada tradisi Yahwista dan biasanya dikatakan berasal dari suku-suku Utara. Beberapa ahli tidak menyetujui adanya tradisi Elohista terpisah. Mereka menganggap hipotesa tentang perlengkapan, penyempurnaan atau penyaduran yang diadakan terhadap karya Yahwista sebagai hipotesa yang sudah cukup memuaskan. Tetapi teori tentang adanya suatu tradisi dan penulisan tradisi E, yang mula-mula berdiri sendiri, tidak hanya didukung oleh ciri-ciri khas pada gaya bahasa dan ajaran tetapi juga oleh perbedaan dengan J dalam asal-usulnya. Teori ini didukung pula oleh kenyataan, bahwa mulai dari Abraham sampai dengan ceritera-ceritera tentang wafatnya Musa, kisah E yang sejalan dengan kisah J, cukup lengkap sambil berbeda dengan J.

Maka satu hal penting perlu diperhatikan. Kendati corak-corak yang membeda-bedakannya, namun ceritera-ceritera Yahwista dan Elohista pada hakekatnya mengisahkan sejarah yagn sama. Jadi kedua tradisi ini mempunyai titik-pangkal yang sama. Suku-suku Israel di Utara dan di Selatan mempunyai tradisi yang sama. Tradisi itu menertibkan kenangan-kenangan bangsa Israel dalam hal sejarahnya, ialah: urutan ketiga bapa bangsa yakni Abraham, Ishak dan Yakub, keluaran dari Mesir yang digabungkan dengan penampakan Allah di gunung Sinai, pengikatan Perjanjian di gunung Sinai yang dihubungkan dengan pendudukan daerah Trans-Yordania, yang menjadi tahap terakhir sebelumnya direbutnya Tanah Terjanji. Tradisi bersama ini mulai terbentuk secara lisan dan mungkin juga secara tertulis sejak zaman para Hakim, yakni sejak Israel menjadi suatu bangsa.

Tradisi Yahwista maupun Elohista memuat hanya sedikit teks berupa hukum; yang paling berarti ialah Kitab Hukum Perjanjian yang akan dibicarakan nanti. Padahal, sebaliknya, hukum-hukum yang merupakan urat nadi tradisi Para Imam. Hukum-hukum itu khususnya mengenai Bait Suci, korban-korban dan hari-hari raya, pribadi dan tugas Harun serta keturunannya. Tetapi disamping bagian-bagian yang berisikan hukum atau yang mengenai lembaga-lembaga keagamaan itu, tradisi Para Imam memuat juga ceritera. Ceritera-ceritera itu khususnya menjadi terperinci mana kala dapat mengungkapkan perhatian khusus yang diberikan oleh tradisi Para Imam kepada hukum dan Ibadat. Tradisi ini menggemari angka-angka dan silsilah-silsilah. Karena pembendaharaan kata yang khas dan gaya bahasanya yang abstrak, tradisi itu mudah dikenal. Inilah tradisi pada Imam Bait Suci di Yerusalem. Walaupun di dalamnya terpelihara macam-macam unsur kuno, namun tradisi ini baru terwujud di masa pembuangan Israel dan baru umum diterima dan mulai beredar setalah Israel kembali dari pembuangan. Di dalamnya dibeda-bedakan beberapa lapisan atau tahap penggubahan. Selebihnya sulit ditentukan, apakah tradisi ini pernah berdiri sendiri sebagai sebuah karya tertulis. Agaknya lebih mungkin, bahwa seseorang atau beberapa orag yang mewakili tradisi para imam di Yerusalem itu memungut bahannya dari tradisi-tradisi yang sudah ada, lalu menggubah dan menerbitkan Pentateukh seperti sekarang ada.

Dalam kitab Kejadian garis-garis ketiga tradisi tersebut, yakni Yahwista, Elohista dan Para Imam, agak mudah diikuti. Sehabis kitab Kejadian tradisi Para Imam gampang saja dipisahkan dari kedua tradisi yang lain, terutama dalam bagian terkahir kitab Keluaran, seluruh kitab Imamat dan bagian-bagian besar dari kitab Bilangan. Tetapi sehubungan dengan bahan lain dalam ketiga kitab itu sukar ditentukan mana termasuk tradisi Yahwista dan mana termasuk tradisi Elohista. Sehabis Kitab Bilangan, ketiga tradisi tersebut menghilang sama sekali sampai muncul kembali dalam bab 31 dan 34 dari kitab Ulangan. Ketiga tradisi tersbut diganti dengan tradisi lain, yakni tradisi Ulangan (D).

Tradisi Ulangan (D), tradisi ini dapat dikenal melalui bahasa yang khas, yaitu bahasa berlebih-lebihan dan berupa seni berpidato, di mana sering terulanglah ungkapan-ungkapan yang tetap sama: dapat dikenal juga melalui ajaran yang terus –menerus ditegaskan kembali, yaitu bahwa dari antara segala bangsa. Allah telah berkenan memilih Israel sebagai umatNya. Tetapi pilihan itu dan perjanjian yang telah mengukuhkannya bersyaratkan kesetiaan Israel kepada Hukum Allahnya dan kepada ibadat resmi yang harus diadakan bagiNya dalam satu Bait Suci saja. Kitab Ulangan merupakan tahap terakhir sebuah tradisi yang berdekatan dengan tradisi Elohista dan dengan gerakan para nabi. Tetapi suara tradisi D itu sudah terdengar dalam beberapa bagian Kitab Suci yang agak tua. Bagian inti kitab Ulangan boleh jadi memuat adat-istiadat Kerajaaan Utara yang oleh orang-orang Lewi dibawa ke Yehuda sesudah kerajaan Samaria musnah. Kitab hukum yang barangkali sudah diberi kerangka sebuah wejangan Musa itu disimpan dalam Bait Suci di Yerusalem. Di Zaman raja Yosia ditemukan kembali, lalu diumumkan untuk mendukung pembaharuan agama di Yehuda. Kitab itu diterbitkan kembali (dengan tambahan atau saduran) pada awal masa pembuangan.

Berpangkal pada kumpulan-kumpulan tradisi yang berbeda-beda itu, kitab Pentateukh bertahap-tahap tumbuh dan digubah. Tetapi sukar menentukan waktunya masing-masing tahap dikerjakan. Tradisi Yahwista dan Elohista digabungkan di Yehuda pada akhir zaman kerajaan, barangkali di masa pemerintahan Hizkia, sebab berdasarkan Ams 25:1 kita ketahui, bahwa di zaman itu karya-karya sastra kuno dikumpulkan. Menjelang pada akhir masa Pembuangan, kitab Ulangan, yang dianggap sebagai kitab hukum yang diberikan oleh Musa di padang Moab, disisipkan antara bagian terakhir kitab Bilangan dan ceritera-ceritera tentang pengangkatan Yosua pada kematian Musa, Ul 31 dan 34. Bisa jadi, bahwa tidak lama kemudian pada kitab ini ditambahkan tradisi Para Imam, atau, jikalau ini lebih disukai, bahwa para penggubah pertama dari kalangan para imam mulai menangani kitab itu. Tetapi bagaimanapun juga ”Taurat Musa”, yang dibawa dari Babel oleh Ezra, rupa-rupanya adalah kitab Pentateukh yang bentuknya sudah mendekati bentuk yang paling akhir.

Hubungan antara Pentateukh dengan kitab-kitab Alkitab berikut menjadi sebab timbulnya hipotesa yang saling bertentangan. Sejak lama sementara ahli Kitab berbicara tentang ”Heksateukh”, yaitu tentang sebuah kitab yang berjilid enam, yang mencakup juga kitab Yosua dan bagian pertama kitab Hakim-hakim. Mereka menekankan, bahwa tema janji yang begitu sering muncul dalam ceritera-ceritera Pentateukh menuntut adanya dalam tradisi itu ceritera-ceritera yang mengisahkan pula pelaksanaan janji-janji tersebut, ialah perebutan Tanah Terjanji. Menurut pendapat mereka, kitab Yosua baru kemudian dipisahkan dari kesatuan itu, lalu menjadi kitab pertama dari kitab-kitab sejarah. Sebaliknya, pengarang-pengarang yang lebih baru bicara mengenai ”Tetrateukh”, yaitu tentang kitab yang bejilid empat, yang tidak mencakup kitab Ulangan. Menurut mereka, kitab Ulangan mula-mula dipakai sebagai pendahuluan sebuah kitab sejarah yang belansung sampai dengan akhir masa para raja (karena kitab Sejarah itu diistilahkan sebagai kitab ”Sejarah Ulangan”). Kemudian kitab Ulangan dipisahkan dari kitab sejarah tersebut, waktu orang ingin mengumpulkan di dalam satu karya- yaitu Pentateukh kita – segala sesuatunya yang menyangkut diri Musa serta karyanya. Pendapat yang kedua inilah yang dalam terbitan Kitab Suci ini akan dituruti dalam kata pengantar masing-masing kitab sejarah dan diandaikan dalam beberapa catatan, walaupun di sana sini pendapat itu akan dirubah seperlunya. Hanya perlu tetap diingat, bahwa semuanya hanya berupa hipotesa.Tetapi juga pendaoat dahulu mengenai Heksateukh berupa hipotesa saja.

Sudah jelas kiranya, bahwa ketidak-pastian yang sama menyangkut sejumlah besar persoalan yang ditimbulkan oleh caranya Pentateukh digubah. Memang kitab itu digubah selama sekurang-kurangnya enam abad dan ia mencerminkan perubahan-perubahan yang dialami hidup kebangsaan dan keagamaan Israel. Namun kendati pasang surut yang dialaminya itu, perkembangan Pentateukh pada pokoknya nampaklah homogen. Sudah dikatakan di atas, bahwa tradisi-tradisi yang berupa ceritera berasal dari zaman terbentuknya bangsa Israel. Dengan memperhatikan seperlunya perbedaan, maka hal yang sama boleh dikatakan tentang bagian-bagian Pentateukh yang berisikan hukum. Bagian-bagian itu memuat hukum sipil dan agama yang bekembang bersama dengan masyarakan yang dipimpin olehnya, tetapi asal-usul hukum itu bercampur dengan asal-usul bangsa itu sendiri. Ada kontinuitas dalam perkembangan dan kontinuitas itu mempunyai dasar keagamaan: iman akan Yahwelah yang mempersatukan bangsa itu dan iman akan Yahwe itu dibayangi oleh pribadi Musa. Dialah pangkal hidup keagamaan bangsanya dan diapun sebagai yang pertama yang memberi hukum dan undang-undang bangsanya. Tradisi-tradisi sebelumnya yang terarah kepada Musa dan kenangan akan kejadian-kejadian yang dipimpin olehnya, akhirnya menjadi kisah sejarah terbentuknya bangsa Israel. Untuk seterusnya agama Musalah yang menentukan kepercayaan dan adat istiadat keagamaan Israel. Sebab hukum Musa tetap menjadi pedoman bagi bangsa itu. Penyesuaian-penyesuaian yang dituntut oleh perubahan-perubahan zaman diadakan menurut jiwa dan semangat Musa dan ditempatkan dibawah kewibawaannya. Tidaklah penting, bahwa kita tidak dapat dengan pasti menentukan satu bagianpun dari Pentateukh sebagai karya Musa sendiri, sebab dialah yang menjadi tokoh utama bagi seluruh kitab itu. Oleh karenanya tidak kelirulah tradisi Yahudi yang menyebut Pentateukh sebagai Kitab Taurat Musa.

III. CERITERA-CERITERA DAN SEJARAH

Tidaklah bijaksana, jikalau dari pada tradisi-tradisi yang merupakan pusaka yang hidup bagi suatu bangsa dan yang membangun rasa persatuannya dan melandaskan kepercayaannya, akan kita tuntut apa yang dapat kita tuntut dari pada ahli ilmu sejarah dalam arti modern. Namun tidaklah adil juga mnyangkal adanya kebenaran di dalamnya hanya karena tidak adanya norma-norma ilmu sejarah modern.

Kesebelas bab pertama kitab Kejadian perlu diperhatikan secara tersendiri. Secara populer diceritakan di dalamnya awal –mula bangsa manusia; dengan gaya bahasa yang sederhana dan penuh gambar, yang sesuai dengan mentalita bangsa yang kurang beradab, diungkapkanyalah kebenaran-kebenaran pokok yang menjadi pangkal seluruh tata keselamatan, yaitu: Allah menciptakan dunia pada awal mula; Allah terlibat lansung dalam penciptaan pria dan wanita; persatuan bangsa manusia; dosa leluhur pertama; kemerosotan dan hukuman turun temurun yang dijatuhkan kepadanya. Akan tetapi kebenaran-kebenaran ini yang menyangkut dogma dan diperkuat oleh kewibawaan Kitab Suci, sekaligus merupakan fakta. Apabila kebenaran-kebenaran ini memang pasti, maka di dalamnya diandaikan fakta-fakta riil, walaupun kita tidak mampu menentukan dengan tepat hal-ihwalnya, sebab terselubung dalam bungkusan mitos yang dipakaikan padanya sesuai dengan metalita masa dan lingkungan yang bersangkutan.

Sejarah para bapa bangsa adalah sejarah keluarga: dikumpulkan di dalamnya kenang-kenangan yang masih terpelihara mengenai para leluhur, yaitu Abraham, Ishak, Yakub dan Yusuf. Sejarah itu bersifat populer; ia gemar akan peristiwa-peristiwa yang menyangkut pribadi bapa-bapa bangsa dan diceritakan dengan memakai daya khayal yang menyegarkan. Tidak ada usaha sedikitpun untuk menghubungkan ceritera-ceritera itu dengan sejarah umum. Selebihnya sejarah itu sejarah keagamaan; segala kejadian yang menentukan, disertai campur tangan Allah, sehingga tampaknya sebagai sejarah yang diatur oleh penyelenggaraan Ilahi. Pendekatan ini secara teologis memang tepat, tetapi tidak peduli akan pengaruh sebab-sebab diluar Allah. Lagipula semua kebenaran keagamaan, yaitu: ada satu Allah yang membentuk satu umat dan yang memberikan kepadanya satu negeri. Allah itu adalah Yahwe, umat itu tidak lain dari Israel dan negeri itu ialah Tanah Suci. Akan tetapi ceritera-ceritera itu adalah sejarah, sejauh dengan caranya sendiri mengisahkan peristiwa-peristiwa riil dan sejauh memberi gambaran tepat mengenai asal-usul dan penggambaran leluhur Israel, mengenai ikatan-ikatan geografis dan etnis serta mengenai kelakuan moril dan religius mereka. Kesangsian-kesangsian yang dikemukakan tentang ceritera-ceritera itu seharusnya dijauhkan, mengingat bahwa ceritera-ceritera itu didukung oleh bukti-bukti yang dihasilkan oleh penemuan-penemuan terbaru di bidang sejarah dan arkheologi di negeri-negeri Timur Dekat.

Sesudah jangka waktu lama yang tidak ada beritanya, maka kitab Keluaran maupun kitab Bilangan, yang masih bergema dalam bab-bab pertama kitab Ulangan, menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak kelahiran sampai kematian Musa, yaitu; Keluaran Israel dari Mesir, perhentian di daerah gunung Sinai, perjalanan menuju Kadesy, perjalanan melalui daerah Trans-Yordania dan menetapnya Israel di padang Moab. Seandainya kebenaran historis peristiwa-peristiwa tersebut maupun pribadi Musa hendak disangkal, maka mustahillah menjelaskan kelanjuta sejarah Israel, kesetiaannya terhadap Yahwe serta terlekatnya bangsa itu pada hukum Taurat. Namun perlu diingat, bahwa pentingnya kenangan-kenangan tersebut bagi kehidupan bangsa Israel dan gemanya dalam ibadat memberi ceritera-ceritera itu ciri kisah kepahlawanan (misalnya penyebrangan laut) dan kadang-kadang rupa ibadat (Paskah). Setelah menjadi bangsa, Israel tampil di panggung sejarah umum. Walaupun tiada satu dokumen kunopun yang menyinggung Israel, kecuali satu tulisan pada tugu Firaun Merneptah yang tidak jelas maksudnya, namun apa yang diceritakan oleh Kitab Suci tentang Israel, dalam garis-garis besarnya sesuai dan cocok dengan apa yang diberitahukan oleh teks-teks dan arkheologi mengenai masuknya kelompok-kelompok bangsa Semit ke Mesir, mengenai tata negara di Delta Nil dan mengenai keadaan politik di wilayah di seberang sungai Yordan.

Tugas ahli ilmu sejarah modern ialah membandingkan berita-berita Kitab Suci dengan fakta-fakta sejarah umum. Dengan sikap hati-hati yang dikarenakan kurangnya petunjuk-petunjuk Kitab Suci serta ketidakpastian khronologi kejadian-kejadian yang tidak termasuk Kitab Suci, dapat dikatakan : Abraham hidup di negeri Kanaan sekitar tahun 1850 seb. Masehi; Yusuf mencapai kedudukan dan menjalankan tugasnya di Mesir tidak lama sehabis thn. 1700; pada waktu yang sama ”anak-anak Yakub” lainnya bergabung dengannya. Untuk menentukan waktu keluaran tidak dapat kita percayai petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam 1 Raj 6:1 dan Hak. 11:26, sebab petunjuk-petunjuk tersebut dimasukan kemudian dan berasal dari perhitungan yang dibuat-buat. Walaupun demikian, Kitab Suci memberi satu petunjuk yang pasti: menurut teks kuno Kel 1:11 , orang-orang Ibrani ikut membangun kota-kota bandar (perniagaan) Pitom dan Raamses. Maka peristiwa keluaran terjadi sesudah Firaun Ramses II yang mendirikan kota Raamses itu naik tahta. Karya-karya besar itu dimulai pada awal pemerintahannya dan mungkin sekali kelompok di bawah pimpinan Musa meninggalkan Mesir di pertengahan pertama atau di sekitar pertengahan pemerintahannya yang amat lama (1290-1224), katakanlah di sekitar tahun 1250 seb. Masehi atau sedikit sebelumnya. Apabila kita perhatikan tradisi Kitab Suci mengenai perjalanan Israel di padang gurun yang berlansung selama masa kehidupan satu keturunan, maka pendudukan daerah di seberang Yordan terjadi kurang lebih pada tahun 1225 seb. Masehi. Tanggal tersebut cocok dengan keterangan-keterangan dari ilmu sejarah umum tentang tempat kediaman para Firaun dari wangsa ke-XIX di Delta Nil, tentang mundurnya kuasa negara Mesir di Siria-Palestina pada akhir pemerintahan Ramses II, dan tentang kerusuhan-kerusuhan yang pada akhir abad ke-13 timbul diseluruh wilayah Timur Dekat. Tanggal-tanggal tersebut sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari arkheologi mengenai awal Zaman Besi yang bersamaan waktunya dengan menetapnya orang-orang Israel di Kanaan.

IV. PERUNDANG-UNDANGAN

Dalam Kitab Suci Yahudi, Pentateukh disebut Taurat; dan memang sesungguhnya terdapatlah di dalamnya kumpulan peraturan yang mengatur kehidupan moral, sosial, dan agama bangsa Israel. Bagi kita yang berpandangan modern, ciri yang paling menarik dalam hukum tersebut ialah sifat keagamaannya. Ciri ini dapat dijumpai juga dalam beberapa kitab hukum dari daerah Timur di zaman dahulu. Tetapi tidak ada satupun yang di dalamnya unsur profan dan unsur sakral bercampur baur dan saling meresapi dengan cara seperti yang terjadi dalam hukum Taurat Israel. Di Israel hukum didiktekan oleh Allah; hukum itu mengatur kewajiban-kewajiban terhadap Allah; undang-undangnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan keagaamaan. Hal ini dengan sendirinya dapat dipahami buat peraturan-peraturan moral Dekalog atau buat hukum-hukum ibadat yang terdapat dalam kitab Imamat, akan tetapi jauh lebih berarti, bahwa dalam kumpulan yang sama bercampur baurlah hukum-hukum perdata dan pidana serta perintah-perintah agama dan bahwa semuanya itu dikemukakan sebagai piagam perjanjian dengan Yahwe. Karena demikian halnya, maka pemakluman hukum-hukum itu secara wajar dihubungkan dengan ceritera-ceritera tentang peristiwa-peristiwa dipadang gurun, dimana perjanjian itu diadakan.

Oleh karena hukum dibuat untuk dilaksanakan, maka timbullah keharusan yang menyesuaikannya dengna keadaan dan dengan zaman yang berubah-ubah. Dengan demikian menjadi jelas, mengapa dalam kumpulan-kumpulan yang nanti akan kita kupas, sekaligus dapat ditemukan unsur-unsur kuno maupun kaidah-kaidah ataupun peraturan peraturan yang membuktikan adanya keperluan-keperluan baru. Di lain pihak, tidak dapat tidak Israel dalam hal ini bergantung pada tetangga-tetangganya. Penetapan-penetapan tertentu dalam Kitab Hukum Perjanjian datau kitab Ulangan, mirip sekali dengan Kitab-Kitab Hukum dari Mesopotamia, Kumpulan Hukum dari Asyur dan Kitab Hukum bangsa Het. Bukan pinjaman lansung, namun kesamaan-kesamaannya itu dapat diterangkan oleh pengaruh hukum asing atau oleh hukum adat yang sebagian merupakan milik bersama bangsa-bangsa Timur Dekat di zaman dahulu kala. Selebihnya sesudah keluaran dari Mesir dan perebutan negeri Kanaan, pengaruh Kanaan dalam peristilahan undang dan bentuk-bentuk ibadat sangat terasa sekali.

Dekalog ialah ”Kesepuluh Firman” yang tergores di atas loh-loh batu di gunung Sinai. Ia memuat undang-undang dasar, baik di bidang kesusilaan maupun di bidang agama. Dekalog itu merupakan undang-undang dasar perjanjian. Ia disajikan sebanyak dua kali, Kel 20:2-17 dan Ul 5:6-18, dengan perbedaan-perbedaaan yang cukup besar. Kedua nas tersebut berasal dari sebuah bentuk Dekalog yang lebih tua dan lebih singkat. Bahwa Dekalog yang asli itu berasal dari Musa tidak dapat dibantah oleh argumen apapun.

Kitab Hukum (Elohista) Perjanjian, Kel 20:22-23:33 (atau 20:24-23:9) disisipkan antara Dekalog dan ceritera tentang diikatnya perjanjian di gunung Sinai. Tetapi Kitab Hukum itu sesungguhnya berlatar belakang suatu keadaan masyarakat di zaman kemuadian dari zaman Musa. Kitab itu berisikan hukum-hukum dari suatu masyarakat kaum tani dan peternak. Perhatian khusus yang diberikan kepada ternak, perumahan, pekerjaan di ladang dan di kebun anggur mengandaikan bahwa Israel sudah lama menetap di negeri Kanaan. Baru di zaman itulah Israel dapat mengenal dan melaksanakan hukum adat, yang dari padanya Kitab Hukum tersebut mengambil bahannya. Hukum adat itupun dapat menerangkan, mengapa Kitab Hukum Perjanjian sampai dengan hal terperinci sangat serupa dengan kitab-kitab hukum dari daerah Mesopotamia. Namun Kitab Hukum Israel itu dijiwai oleh agama Yahwe dan karenanya kerap kali menantang peradaban negeri Kanaan. Dengan tidak mengatur dan menyusunnya dengan rapih, Kitab Hukum Perjanjian mengumpulkan berbagai kelompok perintah-perintah. Perintah-perintah itu berbeda baik isinya maupun perumusannya. Ada yang berupa syarat; Kalau hal ini atau itu terjadi, dilakukan, maka harus diperbuat begini begitu; maka harus diperbuat begini begitu; maka perintah-perintah macam itu tidak mempunya nada mutlak. Ada juga hukum-hukum yang berupa perintah / larangan dan yang secara mutlak berlaku. Kumpulan hukum-hukum itu mula-mula berdiri sendiri dan mendahului adanya kitab Ulangan. Sebab Kitab Ulagnan memang memanfaatkan Kitab Hukum Perjanjian. Oleh karena kitab itu tidak menyinggung jabatan raja, maka boleh disimpulkan, bahwa berasal dari zaman para Hakim. Sebelum kitab Ulangan disusun, Kitab Hukum Perjanjian sudah disisipkan ke dalam ceritera-ceritera mengenai peristiwa-peristiwa di gunung Sinai.

Kitab Hukum yang tercantum dalam kitab Ulangan, Ul 12:1-26:15, merupakan bagian inti kitab Ulangan, yang ciri-ciri khasnya dan sejarahnya telah diuraikan dimuka. Kitab Hukum ini meminjam sebagiann hukum dari Kitab Hukum Perjanjian, tetapi menyesuaikannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata ekonomi dan sosial Israel. Sebagai contoh bandingkan soal penghapusan hutang dan status para budak, Ul. 15:1-11 dan Kel 23:10-11; Ul 15:12-18 dan Kel 21:2-11. Akan tetapi, mulai dari perintahnya pertama, Kitab Hukum ini lansung bertentangan dengan Kitab Hukum Perjanjian dalam satu hal penting: kitab Hukum Perjanjian membenarkan adanya banyak tempat suci, Kel 20:24, padahal kitab Ulangan menetapkan sebagai hukum bahwa hanya ada satu tempat ibadat saja, Ul 12:2-12. Pemusatan ibadat ini menyebabkan perubahan-perubahan dalam peraturan-peraturan lama yang menyangkut korban-korban, bagian sepersepuluh dan hari-hari raya. Kitab Hukum Ulangan memuat juga peraturan-peraturan yang tidak terdapat dalam Kitab Hukum Perjanjian dan yang kadang-kadang bercorak ketuaan. Peraturan-peraturan itu berasal dari sumber-sumber yang tidak dikenal. Apa yang menjadi milik khas Kitab Hukum Ulangan dan yang menunjuk perubahan zaman ialah usaha untuk melindungi orang-orang yang lemah, peringatan-peringatan yang berulang-ulang tentang hak Allah atas negeriNya dan umatNya, serta nada ajakan yang meresapi peraturan-peraturan hukum itu.

Walaupun kitab Imamat baru mendapatkan bentuknya yang definitif sesudah masa Pembuangan, namun terdapatlah di dalamnya unsur-unsur yang sangat kuno, mis, larangan-larangan tentang makanan, 11, atau peraturan-peraturan tentang ketahiran, 13-15. Upacara ibadat hari raya Pendamaian, 16, yang berasal dari zaman belakangan, menggabungkan suatu pengertian sangat dalam mengenai dosa dengan upacara pentahiran yang kuno sekali. Bab-bab 17-26 merupakan suatu keseluruhan yang disebut ”Hukum Kekudusan” dan mula-mula terpisah dari Pentateukh. Hukum itu mengumpulkan berbagai-bagai unsur. Beberapa di antaranya dapat dikembalikan pada masa suku-suku Israel masih Badui (demikian halnya dengan bab 18), padahal hukum-hukum lain berasal dari zaman sebelum Pembuangan dan yang lain lagi dari zaman kemudian. Untuk pertama kalinya hukum-hukum itu dikumpulkan di Yerusalem menjelang masa Pembuangan dan kumpulan pertama itu barangkali dikenal oleh Yehezkiel, sebab bahasa serta isi kitab Yehezkiel menunjukkan banyak kesamaan dengan ”Hukum Kekudusan” itu. Akan tetapi ”Hukum Kekudusan” itu baru diumumkan di masa Pembuangan, sebelum dimasukkan ke dalam Pentateukh oleh penyusun-penyusun Pentateukh dari kalangan pada Imam yang menyesuaikannya dengan bahan lain yang mereka kumpulkan.

V. ARTI KEAGAMAAN

Agama Perjanjian Lama dan juga agama Perjanjian Baru adalah agama historis: dasarnya ialah wahyu yang diberikan Allah kepada manusia-manusia tertentu, di tempat-tempat tertentu, dalam keadaan-keadaan tertentu; landasannya ialah campur tangan Allah pada saat-saat tertentu dalam perkembangan umat manusia. Pentateukh yang menguraikan sejarah hubungan Allah dengan dunia itu, merupakan dasar agama Yahudi dan telah menjadi Kitab Suci utamanya, ia telah menjadi hukum baginya.

Orang Israel menemukan di dalamnya keterangan tentang tujuan hidupnya. Bukan hanya di bagian pertama kitab Kejadian dapat dijumpai olehnya jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bercokol dalam hati setiap manusia tentang dunia dan kehidupan, penderitaan dan kematian, melainkan dijumpainya pula jawaban atas persoalan yang khusus, persoalan Israel, yaitu: mengapa Yahwe yang Esa adalah Allah Israel, mengapa Israel adalah umatNya yang terpilih di antara segala bangsa di bumi? Jawabannya ialah: sebab Israel telah menerima janji. Memang, Pentateukh adalah kitab janji: kepada Adam dan Hawa, sesudah jatuhnya ke dalam dosa, diberitakan keselamatan yang akan datang (Pra-Injil); kepada Nuh, sehabis air bah, diberi jaminan akan datangnya ”orde baru” di dunia; khususnya janji di berikan kepada Abraham. Janji yang diberikan kepadanya diperbaharui oleh Allah bagi Ishak dan Yakub dan mencakup seluruh bangsa yang akan menjadi keturunan mereka itu. Janji itu secara lansung terarah pada pendudukan negeri yang pernah didiami oleh para bapa bangsa, yaitu Tanah Terjanji, tetapi di dalamnya tercakup lebih dari itu, yakni : janji itu menjadi tanda akan adanya hubungan istimewa dan yang tiada bandingannya antara Israel dan Allah para leluhur.

Sebab Yahwelah yang telah memanggil Abraham. Panggilan itu menjadi pralambang terpilihnya Israel. Yahwelah yang membuat mereka menjadi satu bangsa, lalu satu bangsa itu menjadi umatNya sendiri. Semuanya berdasarkan pilihan bebas dari pihak Allah dan berurat-akar dalam sebuah rencana penuh kasih yang dimulai sejak saat penciptaan dan berlansung terus, kendati segala ketidak-setiaan dari pihak manusia.

Janji serta pilihan itu terjamin dalam perjanjian. Pentateukh adalah kitab pelbagai perjanjian. Ada perjanjian yang, walaupun tersembunyi, sudah diadakan oleh Allah dengan Adam; lalu perjanjian itu menjadi kentara dalam perjanjian dengan Nuh, dalam perjanjian dengan Abraham dan akhirnya dalam perjanjian yang diikat dengan seluruh bangsa dengan perantaraan Musa. Perjanjian itu bukannya sebuah kontrak antara pihak-pihak yang sama derajatnya, sebab Allah tidak membutuhkannya dan justru Dialah yang memprakarsainya. Walaupun demikian Allah telah melibatkan diri didalamnya, Ia mengikatkan diri dengan cara tertentu melalui janji-janji yang diberikanNya. Akan tetapi dari pihak umatNya dituntut olehNya kesetiaan: penolakan dari pihak Israel, dosanya, dapat memusnahkan ikatan yang sudah terjalin oleh cinta-kasih Allah.

Allah sendiri menggariskan syarat-syarat kesetiaan itu, Ia memberi hukum Taurat kepada umat yang dipilihNya. Hukum itu memberi petunjuk-petunjuk tentang tugas kewajiban umat, mengatur tingkah-lakunya sesuai dengan kehendak Allah dan dengan mempertahankan perjanjian menyiapkan pemenuhan janji-janji Allah.

Tema-tema: Janji, Pilihan, Perjanjian dan Hukum Taurat, merupakan benang mas yang bersilang-silang di sepanjang kitab-kitab Pentateukh dan dapat dijumpai dalam seluruh Perjanjian Lama. Sebab Pentateukh bukannya sebuah karya yang selesai/tertutup : ia mengemukakan janji tetapi ia tidak bicara tentang pelaksanaannya, karena kisahnya berhenti sebelum masuknya bangsa Israel ke Tanah Suci. Pentateukh haruslah tinggal terbuka bagaikan sebuah harapan dan ancaman: harapan akan janji yang tampaknya terpenuhi dengan penaklukan Kanaan Yos 23, lalu terganggu oleh dosa-dosa umat terpilih, akhirnya disadari kembali oleh kaum buangan di Babel; ancaman yang tercantum dalam hukum yang selalu menekan dan di Israel selalu menjadi saksi melawan mereka, Ul 31:26.

Keadaan demikian akan berlansung sampai kedatangan Kristus yang menjadi tongkat batasnya; kepadaNyalah secara samar-samar tertuju sejarah keselamatan itul ; Ia memberi kepadanya arti yang sebenarnya. Paulus membuka dan menguraikan rahasia-nya, terutama dalam Gal 3:15-29. Kristus mengadakan Perjanjian Baru yang telah dilambangkan dalam perjanjian-perjanjian dahulu kala dan Ia mengikut-sertakan didalamnya orang-orang Kristen yang berkat imannya menjadi pewaris-pewaris Abraham. Adapun Hukum Perjanjian Lama diberi untuk menjaga janji-janji; peranannya dapat dibandingkan dengan seorang pendidik yang mengantar kepada Kristus, pemenuhan janji-janji tersebut.

Orang Kristen tidak lagi tunduk kepada kekuasaan pendidik itul ia sudah dibebaskan dari kewajiban menjalankan Hukum Taurat, namun ia tetap wajib menjalankan ajaran moral dan agama Hukum Taurat. Oleh sebab Kristus tidak datang untuk menghapus melainkan untuk menyempurnakan. Mat 5:17, maka Perjanjian Baru tidak bertentangan dengan Perjanjian Lama; ia merupakan kelanjutan saja. Dalam peristiwa-peristiwa penting di masa para bapa bangsa dan Musa, dalam perayaaan hari-hari raya dan dalam upacara-upacara di padang gurun (pengorbanan Ishak, penyebrangan Laut Merah, Paskah, dst). Gereja memang menemukan realita-realita. Hukum Baru (korban Kristus, baptisan, Paskah Kristen). Akan tetapi ini tidak cukup. Iman Kristen menuntut sikap hati yang sama yang dituntut dari pada orang-orang Israel oleh ceritera-ceritera dan peraturan-peraturan Pentateukh. Malahan lebih dari itu ; dalam perjalanannya kepada Allah, setiap manusia mengalami tahap-tahap yang sama, yaitu: pelepasan, percobaan, pembersihan, yang dialami pula oleh umat terpilih. Setiap manusiapun dapat menemukan petunjuk-petunjuk yang berguna baginya di dalam pelajaran-pelajaran yang telah diberikan kepada umat terpilih.

Orang Kristen yang ingin membaca Pentateukh, sebaiknya memperhatikan urutan yang berikut: kitab Kejadian, yang sesudah memperlawankan kebaikan Allah Pencipta dengan ketidak setiaan manusia yang berdosa, memperlihatkan dalam diri para bapa bangsa ganjaran yang dilimpahkan kepada mereka, yang percaya; kitab Keluaran adalah semacam gambaran penebusan dalam gari-garis besar; kitab Bilangan mengisahkan masa percobaan, dimana Allah mendidik dan memperbaiki tingkah-laku anak-anakNya dan dengan demikian disiapkanNya sebuah himpunan para terpilih. Kitab Imamat akan lebih bermanfaat, kalau dibaca bersamaan dengan bab-bab terakhir kitab Yehezkiel atau sesudah kitab-kitab Ezra dan Nehemia; korban tunggal Kristus memang sudah membuat peribadatan di Bait Suci Perjanjian Lama menjadi usang dan tidak berguna lagi, namun tuntutan-tuntutannya mengenai kebersihan dan kesucian dalam pengabdian kepada Allah merupakan pengajaran yang tetap berlaku. Bacaan kitab Ulangan sebaiknya diadakan bersamaan dengan kitab Yeremia, nabi yang paling dekat padanya, baik karena ia hidup di masa yang sama, maupun karena kitab Ulangan diresapi semangat yang sama.